Benar Kata Pelatih Maroko

Saat weekend tiba, Aku selalu pulang ke pangkuan ibu pertiwi. Ya begitulah guyonan kepala madrasah kami padaku. Saat pulang ke pangkuan ibu pertiwi terkadang aku sering diberi tumpangan baik sepeda motor atau mobil temanku yang searah jalan pulang. Namun itu hanya sesekali saja, sisanya aku lebih sering naik angkutan umum.

Sebenarnya aku lebih senang naik angkutan umum karena banyak yang dapat aku amati di perjalanan. Walau tak jarang pula aku kesal karena keterlambatannya. Waktu liburku yang tak sampai 36 jam terasa begitu singkat. Sehingga semenit pun begitu berharga rasanya.

Jumbo adalah salah satu pilihanku untuk pulang ke pangkuan ibu pertiwi. Walau banyak alternatif lainnya seperti L300 maupun Hiace yang lebih cepat sampai ke tujuan dengan harga yang tentunya tak murah.

Bagiku Jumbo begitu bersahabat, harganya yang merakyat membuat kami para pekerja merasa terbantu. Walau jarak 100 km simpang ulim – langsa terkadang memerlukan waktu hampir 3 jam perjalanan. Sedangkan perjalanan normal dengan kendaraan lain hanya 2 jam saja.

Tempat duduk favoritku adalah sudut kiri deretan paling belakang. Disana Aku sering mengamati peristiwa ataupun karakter seseorang dari dalam jumbo. Banyak hal yang dapat aku pelajari disana. Mulai dari penumpang yang peduli, bersedia mengalah,cuek, pelit, tak mau berbagi, bahkan sopir yang galak.

Namun di saat tertentu aku juga senang duduk pada sudut kiri paling depan atau lebih tepatnya di sebelah sang sopir. Aku bisa bertanya banyak hal pada sang sopir, tak jarang pula sang sopir yang justru bercerita tentang apapun (selain bergosip tentunya).

Dengan bercerita dan melihat langsung keadaan di jalan, kita jadi lebih mengerti kehidupan sang sopir. Pernah dalam satu kesempatan sang sopir bercerita tentang keluarganya khususnya sang anak. Aku menandai jumbo tersebut dengan ciri-ciri berwarna kuning dan bertuliskan kata MasyaAllah di kaca depan.

Rasa bangga terhadap anaknya tampak di raut mukanya. Betapa bahagia dan bangganya ia ketika menceritakan anaknya. Bahkan aku yang mendengarnya pun merasa merinding. Bagaimana tidak, seorang sopir jumbo memiliki anak yang sangat lihai dalam menulis. Tulisannya dalam bentuk cerita fiksi masuk dalam 10 besar nasional. Bahkan salah satu perusahaan film asal luar negeri bersedia untuk memfilmkan cerita tersebut.

Saat anaknya memutuskan kuliah dibidang sastra, ia begitu ragu karena kesempatan bekerja yang kecil. Namun karena tekad anaknya yang begitu kuat membuatnya semakin kuat untuk membiayai kuliah anaknya.

Kesuksesan anaknya tersebut membuat perekonomiannya membaik. Bahkan orang-orang sekitar mengira penghasilan sopir jumbo sangat besar hanya karna rumahnya yang sedikit dipoles dan dikelilingi pagar beton dalam sekejap. Padahal pagar tersebut bukan hasil jerih payahnya melainkan hasil jerih payah sang anak.

Diantara banyaknya kebahagiaan yang ia rasakan, ada satu cerita yang membuat aku merinding mendengarnya. Saat ia bercerita tentang kehidupan anaknya. Penghasilan sang anak sebagian besar di donasikan ke panti asuhan, dayah tradisional dan pesantren.

Saat bulan puasa tiba, ia lebih sering buka puasa bersama anak-anak yatim yang ada di panti asuhan maupun dayah. Pengurus panti maupun dayah pernah meminta alamat anaknya dengan alasan ingin silaturahmi, karena sang anak merupakan donatur tetap namun di tolak dengan halus oleh sang anak. Ia tak ingin orang lain tau akan kebaikannya.

Sering pula ia diingatkan oleh sang anak agar tak kebut-kebutan dijalan untuk berebut penumpang, karena rezeki sudah di atur dan bagi keluarganya kesehatan dan keselamatan dirinya adalah yang utama.

Pekerjaannya yang hanya sebagai sopir tentunya membuat kedekatan dengan sang anak berkurang, sehingga apa yang ia rasakan sekarang bukan melulu hasil didikannya, melainkan sang ibu pertiwi (istri) yang begitu sabar dalam mendidik. Tanpanya mungkin kebahagian ini tak ada.

Perjalanan kami terasa begitu singkat, bukan karena ceritanya yang panjang melainkan hanya aku penumpang satu-satunya ada di jumbo tersebut. Sehingga mobil tersebut melaju kencang tanpa menghabiskan waktu untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Hingga sampai di depan rumah sakit Zubir Mahmud aku terpaksa di alihkan ke mobil lain karena ia hendak berbalik arah mencari penumpang dari arah yang berbeda.

Cerita pun terputus tanpa sempat aku tau siapa nama sang sopir dan anaknya yang hebat itu. Dari sini aku belajar bahwa kesuksesan sang anak merupakan kebahagian yang tiada tandingannya bagi orang tua.

Seketika aku mengingat perkataan Walid Regragui pelatih Maroko yang sukses mengirim pulang juara dunia tahun 2010 lebih awal.
Kesuksesan kita tidak mungkin dapat terjadi tanpa kebahagian orang tua kita”.

Jika ditanya apa kaitannya antara Maroko dengan tulisan ini, jawabannya bukan semata karena Maroko negara islam, melainkan Maroko adalah bagian dari Indonesia. Sesuai dengan Jargon “Dari Sabang sampai Maroko” begitu kata temanku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *