Aku, Si Pendidik yang Fakir Ilmu
Saat ini perkembangan teknologi sangat pesat hingga mendesak manusia untuk terus beradaptasi. Tak hanya itu manusia juga “dipaksa” untuk memilikinya. Salah satunya lihat saja bagaimana penggunaan Smarphone yang begitu masif, bahkan menurut databoks.katadata.co.id diperkirakan pengguna Smartphone di Indonesia pada tahun 2025 mencapai 89 persen dari populasi yang ada.
Survei Populix juga menunjukkan, 70 persen masyarakat Indonesia yang disurvei memiliki satu Handphone (HP) untuk menunjang aktivitas keseharian mereka.
Dikutip dari CNBC Indonesia, rata-rata masyarakat Indonesia pada tahun 2022 dalam sehari dapat menghabiskan waktu selama 5,7 jam dalam penggunaan gawai (Smartphone). Hal tersebut bahkan meningkat dari tahun sebelumnya yakni selama 5.4 jam.
Jika merujuk pada data-data tersebut tentu aku tak akan membantahnya karena aku sendiri merupakan pengguna aktif dari Smartphone. Selain digunakan untuk bekerja juga aku gunakan untuk sekedar merefreshing kepala ini.
Saat sedang merefreshing kepala ini, biasanya aku memainkan HP sambil tiduran untuk sekedar beristirahat setelah lelahnya bekerja seharian. Tiba-tiba temanku memberi kabar bahwa beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) atau Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB) Kementerian Agama sudah di buka. Hal yang membuatku merasa biasa saja karena aku tak pernah tertarik dengan beasiswa tersebut. Tentu banyak alasan yang membuatku tak tertarik akan hal tersebut salah satunya adalah keluarga.
Jauh sebelum informasi yang temanku peroleh tersebut, aku termasuk salah satu orang yang selalu mendorong temanku untuk ikut jika beasiswa tersebut telah dibuka. Kami selalu memiliki semangat yang sama untuk terus menggali potensi diri yang ada namun dengan cara yang berbeda.
Di sela-sela pembicaraan tersebut, seperti pada umumnya kebiasaan masyarakat Indonesia yang senang sekali merebahkan diri di atas ranjang dimana kaki saling menopang sambil memainkan HP, aku pun melakukan hal yang sama, jika tak ada berita atau informasi yang dapat aku baca biasanya aku membuka sosial media untuk sekedar melepas penat. Banyak konten menarik yang ada, namun ada satu konten yang membuatku tersentak, seketika teringat akan jawabanku tadi pada temanku namun dalam konteks yang berbeda yakni tentang guru. Inti dari konten tersebut salah satunya adalah “Hanya Guru yang Terus Belajar yang Berhak Mengajar”.
Seketika hati ini langsung tersentak, merasa malu pada diri sendiri. Apalagi baru saja aku menolak ajakan temanku sebelumnya. Tapi untuk mengikuti beasiswa tersebut aku tak mampu, banyak hal yang menjadi pertimbanganku.
Tentu aku tak sepintar teman-temanku yang lain. Apalagi beasiswa ini juga salah satu yang paling bergengsi di Indonesia. Lihat saja dua kali kesempatan mengikuti pretest PPG aku selalu menemui kegagalan, belum lagi tes-tes lainnya. Jika berkaca pada kegagalan-kegagalan tersebut artinya diri ini tak kunjung berubah. Untuk memperbaiki kualitas diri saja aku tak sanggup lantas bagaimana aku bisa meningkatkan kualitas peserta didikku.
Untuk itu aku bertekad untuk memperbaiki diri ini dengan melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya. Tentu bukan dengan jalan beasiswa, aku memilih kuliah reguler. Hal itu yang paling memungkinkan bagiku saat ini.
Aku mulai mengkalkulasi semuanya baik dari segi finansial, fisikku, maupun keluargaku. Tentu saja semua hasilnya negatif. Dilihat dari segi keuangan jelas tak akan cukup. Fisikku juga akan otomatis drop karena dalam seminggu aku harus menempuh jarak hampir 500 km.
Keluarga yang sering aku tinggalkan karena tugasku kini harus ditambah dengan tugas belajarku. Waktu bersama mereka yang tak sampai 36 jam kini hanya tersisa 20 jam saja dalam seminggu.
Aku tak tahu apakah aku mampu melewati fase ini, Namun selalu ada alasan bagiku untuk kuat melewatinya. Untuk urusan rezeki tak pernah ada yang tau, yang aku tau adalah “Lawan dari kaya adalah cukup, bukan miskin. Jadi sebetulnya ketika Allah menciptakan kita, rizki kita cukup, tidak ada yang miskin. Yang menjadikan kita miskin itu perasaan kita yang tidak pernah cukup”. begitu ucap Ust. Adi Hidayat dalam hal rezeki.
Untuk fisik, harusnya aku tak kalah dari teman sejawatku yang setiap harinya pulang pergi dari Langsa-Simpang Ulim dengan jarak tempuh hampir 1200 km per minggunya.
Sementara untuk keluargaku mereka sangat mendukungku. Walaupun terpisah secara fisik namun selalu ada cara bagi kami untuk bersama.
Setelah beberapa minggu menikmati perkuliahan, jujur terasa sangat berat, baik dari segi finansial maupun fisikku. Motor tuaku adalah salah jalan bagiku untuk menuntut ilmu yang jauh disana.
Di setiap perjalanan aku selalu di hantui perasaan was-was karena jarak yang begitu jauh serta waktu seakan “membunuhku”. Terdengar mengerikan memang tapi itulah kenyataannya. Aku terus berpacu dengan waktu, semenit saja aku telat maka dosen berkata “tolong bantu saya untuk menutup pintu dari luar” bahasa lain dari keluar yang dinyatakan secara halus tanpa menyakiti perasaan orang yang melanggar aturan.
Untuk mengatasi keterlambatan tersebut tersebut tentu banyak alternatif lain, namun semuanya telah ku perhitungkan dengan matang.
Keletihan dan rasa lelah yang kurasakan seakan hilang begitu saja saat perkuliahan berlangsung. Selain itu tentu saja saat aku bertemu dengan keluargaku di hari minggu. Apalagi saat aku mengetahui fadilah seorang penuntut ilmu.
Di perkuliahan aku menemukan lingkungan baru, teman-teman seperjuangan baru yang tak hanya baik mereka juga sangat pintar. Bahkan aku temasuk kategori yang paling bodoh dalam kelas tersebut. Pola pikir mereka sangat luas, berasal dari berbagai daerah dan beragam profesi yang membuat kelas kami sangat berwarna. Tak hanya itu mereka sangat lihai dalam mencairkan suasana saat diskusi berlangsung, bahkan saling tolong menolong saat salah satu dari kami tak mampu menjawab pertanyaan.
Selain itu aku begitu terkagum dengan para dosenku. Mereka begitu hebat dalam menjelaskan materi perkuliahan kepada kami. Banyak ilmu baru yang ku dapat, apalagi tentang kepemimpinan dan islam itu sendiri. Ilmu sejarah, tafsir & hadist dipelajari dengan jelas. Ilmu yang bahkan tak pernah ku pelajari sebelumnya.
Yang paling membuatku terkagum-kagum adalah dengan mata kuliah Filsafat Ilmu, disini aku memperlajari hakikat ilmu yang sesungguhnya. Hal yang selama ini aku sepelekan ternyata jika dikaji lebih dalam demi sebuah kebenaran yang sesungguhnya.
Setelah aku menjalani ini semua, aku merasa malu pada Yang Maha Berilmu. Dulunya, aku merasa ilmuku sudah cukup, ternyata aku seorang pendidik yang fakir ilmu. Ilmu yang kumiliki saat ini bahkan tak lebih besar dari sebuah atom. Sebagai perbandingan, menurut penelitian, otak manusia yang diciptakan oleh Allah memiliki sekitar 86 miliar neuron (sel saraf) yang terhubung dalam jaringan yang rumit. Hal ini memungkinkan otak untuk menyimpan, memproses, dan mengakses berbagai jenis informasi dengan kompleksitas yang luar biasa.
Lalu yang menjadi pertanyaan untuk kita bersama adalah seberapa sering sudah kita menggunakan otak kita untuk berpikir, berubah, mencerna informasi, mengembangkan diri dan hal-hal lainnya? Bukankah Allah telah menciptakannya secara sempurna. Lantas apakah kita telah memanfaatkannya secara sempurna juga?
Konten tersebut begitu menyadarkanku bahwa selama nyawa masih di kandung badan, tak ada alasan untuk berhenti belajar. Apalagi profesi ini sebagai pengajar yang selalu di tuntut untuk mengajar.
Saat ini banyak media untuk belajar, tak hanya pendidikan formal saja, Salah satu dosenku selalu mengingatkan kami bahwa “Setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah & setiap buku adalah ilmu.” Hal tersebut mengingatkan kita bahwa pembelajaran tak terbatas pada kelas saja. Belajar dari orang-orang, tempat-tempat, dan buku-buku adalah kunci untuk pertumbuhan pribadi dan pengetahuan yang lebih dalam.
Mari sejenak kita luangkan sedikit waktu untuk terus belajar agar kita layak mengajar peserta didik kita dengan baik. Rektor IAIN Lhokseumawe Dr. Danial dalam perkuliahan filsafat ilmu menuntut kami untuk belajar minimal 3 disiplin ilmu baru di luar dasar keilmuan yang kami punya. Dengan begitu kita akan memiliki pemahaman yang luas dalam memahami masalah, dapat mengkolaborasi antar disiplin ilmu yang kita miliki, adanya fleksibilitas saat menghadapi tantangan baru, dapat meningkatkan kreatifitas diri dan tentunya dapat menilai sesuatu dari berbagai perspektif serta menerima perbedaan pendapat sehingga tidak mudah menyalahkan orang lain.
Dan akhir kata aku tutup tulisan ini dengan nasehat Imam Syafi’i tentang ilmu
“Siapa yang menghendaki kehidupan dunia, maka harus disertai dengan ilmu. Dan siapa yang menghendaki kehidupan akhirat, juga harus dengan ilmu. Cukuplah kebodohan menjadi aib saat orang yang bodoh merasa terbebas darinya dan marah jika digelari dengannya.”
Referensi:
https://ameera.republika.co.id/berita/rrvpgp425/ratarata-orang-indonesia-habiskan-810-jam-per-hari-pakai-hp
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20230120133807-37-407115/juara-dunia-warga-ri-paling-betah-main-hp/amp
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/15/pengguna-smartphone-diperkirakan-mencapai-89-populasi-pada-2025