Surat Rahasia dari Tuhan

Alfin Fahsan Maulana namanya, ia sering dipanggil Alfin. Ia adalah seorang anak yatim piatu, orangtuanya telah meninggal dalam sebuah insiden kecelakaan beberapa bulan yang lalu. Ia hidup bersama adik dan neneknya yang sudah tua renta dan sakit sakitan. Setiap hari Alfin harus bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup juga untuk biaya berobat nenek nya.

Setiap sehabis pulang sekolah ia akan berkeliling menjual jajanan kue sambil menarik becak peninggalan sang ayah. Terkadang dikala ia sedang menjajakan dagangan kue nya, ia selalu teringat akan siluet bayangan tubuh ibu dan ayah nya yang luntang lantung bekerja demi menghidupi keluarga kecil mereka. Batinnya selalu berkata “beginikah rasanya menjadi tulang punggung keluarga?” Apa beban ini yang selalu dirasakan oleh kedua orangtuaku?    Setiap hari ayah selalu menarik becak, mengayuhnya dengan sekuat tenaga agar pelanggannya bisa sampai ketempat tujuan sedangkan ibu selalu berkeliling untuk menjajakan kue kering buatannya. Bahkan bukan hanya itu ibu juga harus mengurus nenek kami yang sudah tua dan sakit-sakitan. Oh tuhan, itu adalah sebuah pekerjaan yang amat  sangat berat, tetapi bagaimana orangtua ku bisa bertahan dan ikhlas dalam menjalani semua nya?”. Walaupun hatinya sesekali mengeluh tetapi Alfin masih teringat akan adik dan neneknya. Jika bukan dia siapa lagi yang akan mengurus mereka, lagi pula ia adalah seorang yang dapat bertanggung jawab menjadi kepala keluarga menggantikan almarhum ayahnya.

Saat ini Alfin sedang menempuh pendidikan madrasah tsanawiyah kelas 9 semester ganjil, sedangkan adik nya yang bernama Alfan Fahsan Maulana yang kerap di panggil Alfan itu sudah duduk di bangku kelas 4 MI (madrasah ibtidayyah). Setiap hari ia akan bangun pagi-pagi sekali untuk membuat kue yang pernah diajarkan oleh ibunya semasa beliau masih  hidup, kemudian ia akan membawa kue tersebut ke sekolah untuk mennjualnya. Bukan hanya Alfin, tetapi Alfan sang adik juga ikut berperan dalam membantu sang kakak mencari nafkah, tak berbeda dari sang kakak, ia juga setiap hari membawa kue yang dibuat oleh kakaknya ke sekolah untuk di jajankan ke teman-teman sebayanya. Setiap pagi sesudah mengurus segala kebutuhan neneknya, Alfin dan Alfan akan bersiap siap berangkat sekolah untuk menuntut ilmu. Mereka terlihat berjalan beriringan dan terlihat sangat mirip lantaran mewarisi gen dari kedua orang tuanya.

Siang hari sepulang sekolah Alfin selalu menjemput adiknya dan mengajaknya pulang bersama-sama. Sesampainya dirumah mereka akan bergantian memakai kamar mandi untuk membasuh serta membersihkan tubuh mereka dan mengganti seragam sekolah dengan pakaian bersih juga bersiap-siap untuk melaksanakan shalat dzuhur berjamah. Setelah selesai melaksanakan kewajiban sebagai umat muslim, Alfin dan Alfan akan menjenguk sang nenek di kamarnya dan mengajaknya mengobrol agar nenek nya tidak merasa kesepian. Setelah menyuapi makan dan memberikan obat nenek nya, Alfan segera beranjak dan berangkat kerja, ia tidak mengizinkan adiknya untuk ikut bersamanya supaya ada yang menemani sang nenek.

Tak terasa hari sudah sore, langit sudah hampir gelap. Hari itu, pelanggannya lumayan banyak dan alhamdulillah kue buatannya juga laris manis tak bersisa. Alfin segera beranjak pulang dengan hati riang, sebelum pulang ia singgah di sebuah rumah makan padang untuk membelikan nasi padang kesukaan Alfan, dan nasi putih serta lauk yang lezat untuk neneknya.“ Sesekali nenek dan Alfan harus makan makanan enak dengan uang hasil jerih payahku, tidak mengapa aku tak bisa makan malam ini, setidaknya orang-orang dirumah bisa tidur nyenyak dalam keadaan perut kenyang” batin Alfin sembari tersenyum senang.

***

“Assalamu’alaikum, Alfan abang pulang” ucap Alfin sesampainya di rumah waalaikumsalaam” jawab Alfan membuka pintu sembari tersenyum menyambut kepulanngan sang kakak.

 “Bagaimana keadaan nenek?” tanya alfin, “nenek sedang istirahat bang”

“Baiklah, abang mau mandi dulu, Alfan siap siap untuk sholat berjamaah sama abang ya”

 “ Iya bang”

Setelah mandi Alfan segera bersiap-siap untuk shalat magrib berjamaah bersama sang adik. Setelah shalat magrib, Alfin menyimak Alfan yang sedang mengaji, begitupun sebaliknya. Hal itu sudah rutin dilakukan oleh kedua kakak beradik itu.

Setelah mengaji keduanya segera beranjak dari tempat duduk nya. “Dek, makan dulu ya, abang tadi beliin Alfan nasi padang” kata Alfin, Alfan hanya mengangguk dengan mata berbinar.

Alfin segera pergi menuju ke kekamar neneknya, tidak lupa juga ia menyiapkan obat dan makanan yang dibelinya tadi sore untuk sang nenek. Diambang pintu kamar sang nenek, Alfin berdiri sambil tertegun ketika melihat sang nenek menatap kearahnya sambil tersenyum hangat. Ia segera mendekati sang nenek, mencium tangan dan dahinya. Nenek menatap kearah Alfin, tangan keriput itu menyentuh tangan keras dan kasar Alfin, matanya berembun, suaranya terdengar serak “kamu dan adik mu sudah besar ya” katanya sambal tersenyum. Alfin tidak menjawab, ia hanya menyimak perkataan nenek nya “jagalah adik mu yaa, hiduplah kalian dengan baik baik, jangan pernah kalian berpecah belah, jalanilah hidup bersama sama, kalian itu bagaikan pelangi yang muncul setelah terjadinya hujan badai, yang mewarnai rumah ini, yang semula sepi menjadi ramai, kamu dan adikmu adalah permata berharga yang dimiliki ayah dan ibu kalian” kata nya sambil berurai air mata.

Alfin sama sekali tak menjawab, ia hanya mendengar apa yang dikatakan oleh neneknya. Setelah kejadian yang menimpa kedua orang tua nya. Sang nenek tidak pernah berbicara, ia tidak pernah tertawa, bahkan senyum hangat yang selalu ditebarkan nya untuk orang orang disekitarnya telah hilang bersama kesedihannya, yang dilakukannya hanyalah duduk termenung, tatapan matanya kosong menandakan ia tidak bergairah menjalani hidup. Tetapi hari ini sang nenek yang tidak pernah berbicara sejak tiga bulan lalu tiba-tiba saja mengeluarkan suara yang mengandung nasihat serta bukti bahwa ia benar benar menyayangi cucu-cucunya, membuat Alfin terkejut sekaligus senang bukan main.

Alfin menangkap suara isak tangis adiknya, ia menoleh kebelakang. Disana terdapat Alfan yang duduk bersandar di daun pintu, ia memeluk lututnya, mukanya tenggalam diantara kedua lututnya, Alfan menangis, ia sangat merindukan suara nenek nya, Ia merindukan wajah keriput itu yang selalu tersenyum menyambutnya ketika ia pulang sekolah bersama sang kakak. Perlahan Alfan bangkit dan berjalan kearah sang nenek, ia duduk berlutut di depan neneknya. Alfan menampilkan wajah harunya, tak disangka-sangka tangan yang dulunya kokoh itu menarik dan merengkuh kedua malaikat kecil itu kedalam pelukannya “Alfin kejarlah apa yang kamu cita citakan, Alfan capailah apa yang kamu impikan, kalian berdua adalah matahari nenek” bisiknya di telinga kedua cucu nya itu.

Kedua kakak beradik itu hanya tersenyum seraya mengangguk. Lama sekali mereka berpelukan seolah sedang melepas rindu karna lama tidak bertemu. “Nenek makan dulu ya, tadi Alfin membeli makanan yang lezat untuk nenek makan” kata Alfin sambal tersenyum manis. “Apakah kalian sudah makan?” tanya nenek, “Sudah nek, Alfin tadi makan di luar sebelum pulang sore tadi” jawab Alfin berbohong agar sang nenek tidak mengkhawatirkannya. “Alfan juga sudah makan makanan yang di bawa pulang bang Alfin” sambung Alfan. Nenek tersenyum memandang kedua cucunya. Setelah menyuapi makan dan memeberikan obat untuk nenek, Alfin dan Alfan beranjak untuk membersihkan diri dan segera pergi tidur, malam ini tidak ada yang dipikirkan oleh keduanya termasuk pekerjaan sekolah, karena bagi mereka permintaan nenek nya harus diprioritaskan. Sang nenek meminta kepada kedua cucu nya agar tidur bersamanya malam ini, dengan senang hati kakak beradik itu tanpa babibu langsung mengangguk setuju. Mereka langsung bersiap siap untuk tidur.

***

Alfin melihat nenek dan adik nya yang tidur dengan nyenyak, berbeda dengan dirinya yang tidak bisa tidur barang sedetik pun. Rasanya ia gelisah sekali malam ini, seperti ada sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi. Ia mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran aneh itu namun tidak bisa. Lalu ia bangkit dari tidurnya menuju ke kamar mandi untuk berwudhu, setelah berwudhu ia mengambil mushaf Alqur’an, ia berencana untuk melanjutkan hafalan Alqur’annya. Alhamdulillah, ia sudah menghafal 4 juz dalam kurun waktu kurang lebih 3 bulan. Di waktu senggang seperti saat istirahat setelah menarik becak, Alfin akan menepi untuk sekedar duduk melepas penat, di saat-saat itulah ia akan mengulang hafalan Alqur’annya. Sebuah Alqur’an kecil hadiah ulang tahun yang diberikan sang ayah tepat di hari insiden kecelakaan itu terjadi. Kemanapun ia pergi, Alqur’an itu selalu ia bawa. Dari dulu Alfin sangat ingin masuk pesantren,tetapi biaya yang menjadi permasalahnnya.

Jam 3 dini hari, Alfin kembali bangkit dari duduk nya, ia akan melaksanakan shalat sunnah tahajud 2 raka’at. Setelah selesai shalat Alfin Kembali mengulang hafalan yang ia hafal tadi agar tidak lupa, sambil menghafal ia melakukan pekerjaan rumah, serta membuat kue untuk di jual nya nanti, sebelum subuh ia sudah menyelesaikan semua pekerjaan nya. Jam 5 shubuh Alfin segera membangunkan sang adik untuk shalat subuh berjamaah, setelah shalat subuh mereka segera mempersiapkan keperluan untuk berangkat ke sekolah, sebelum itu tentu saja Alfin akan menyiapkan kebutuhan neneknya dibantu oleh Alfan.

Ketika Alfin hendak membangunkan sang nenek, Alfin menyentuh tangan sang nenek untuk membangunkannya, betapa terkejutnya Alfin saat mendapati tangan lemah itu dalam keadaan dingin, “perasaan apakah ini???” batinnya dalam hati. Ia pun langsung tersadar, segera berlari ke rumah bibi jum tetangganya, Alfan yang melihat sang kakak tergesa-gesa merasa heran apa gerangan yang membuat kakak nya seperti orang yang sedang panik, apa yang terjadi??

Beberapa saat kemudian Alfin kembali lagi kerumah bersama paman sam suami nya bibi jum,mereka langsung masuk ke kamar sang nenek. Alfan berdiri di ambang pintu, sayup sayup ia mendengar suara paman sam mengucapkan sebuah kalimat yang tak ingin lagi didengarnya “Innalillahiwainnailaihiraji’un” Alfan jatuh terduduk di daun pintu tepat di tempat yang ia duduki semalam, ia menekuk lutut dan membenamkan wajah nya di antara kedua lututnya, terdengar isak tangis yang memilukan dari bibir mungil nya,alfin mendekat dan merengkuh tubuh kecil itu kedalam pelukannya, isak tangis itu mampu menorehkan luka yang hampir sembuh kini tergores kembali.

***

Tidak terasa 7 hari sudah kepergian nenek dari sisi kedua kakak beradik itu, hari-hari yang dilalui kini terasa sepi. Mereka tetap melakukan kegiatan seperti biasanya. Malam ini Alfin duduk termenung di teras rumahnya, menatap langit yang bertabur bintang, indah sekali, bayangan nenek, ayah, dan ibunya seakan akan bisa ia lihat di langit malam. Terbayang momen terakhir kali bersama sang nenek, terngiang-ngiang pesan mereka di pikiran Alfin, teringat akan pesan sang ayah “Bagi ayah, kamu begitu berharga nak, maka jadilah seperti yang ayah harapkan, jadilah anak yang kelak berguna bagi orang orang di sekitarmu. Mungkin kamu melupakan satu hal terpenting, ayah selalu di belakangmu,jangan takut untuk melangkah jangan takut jatuh, karna ayah akan senantiasa menjaga dan melindungi mu serta adikmu, maafkan ayah jika selama ini kurang memperhatikan kalian, sebetulnya ayah sangat memperhatikan kalian, hanya saja caranya berbeda dari ibu”. Kata ayah pada hari hari ulang tahun Alfin tiga bulan lalu.

“Nak bermimpilah setinggi mungkin karena mimpi tidak akan pernah menyakiti siapapun, kecuali jika kamu terus bekerja tepat di belakang mimpi itu untuk mewujudkan semaksimal mungkin, belajarlah dengan baik masa depan tidak akan menunggu seseorang yang tidak mau belajar” kata ibu di saat saat Alfin mengeluh.

“Ibu, tunggu Alfin ya. Tunggu Alfin mencapai mimpi yang selama ini Alfin usahakan, hiduplah lebih lama. Alfin ingin melihat ibu bahagia dengan dunia ini, Alfin selalu berdoa pada tuhan, jika suatu saat nanti Alfin sudah meraih mimpi itu, Alfin ingin ibu dan ayah ada dan menyaksikan keberhasilanku. tapi jika nanti kemungkinan terburuk terjadi, Alfin harap ibu mau memeluk Alfin untuk mengobati rasa sedih atas kegagalan yang Alfin terima” ucap Alfin. “Tentu saja ibu akan selalu ada untuk Alfin, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini ketika Allah sang maha penentu takdir sudah bertindak,nak.” Jawab ibu dikala itu.

Alfan menghampiri sang kakak sambil menepuk bahunya “Ayo istirahat, malam sudah semakin larut” kata Alfan. Alfin mengangguk seraya bangkit dari duduk nya.

***
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun, tanpa terasa 5 tahun sudah berlalu kini Alfin dan Alfan sudah tumbuh menjadi pemuda yang mandiri. Saat ini Alfan sudah menduduki bangku kelas 9 Mts dan Alfin sudah hampir menyelesaikan kuliahnya berkat beasiswa. Setiap sebulan 2 kali Alfin akan pulang ke kampung halamannya untuk menjenguk sang adik. Ia pulang dengan mengendarai sepeda motor yang dibeli nya sendiri dengan uang yang didapatnya Ketika bekerja, ia menabung sedikit demi sedikit. Pada suatu hari Alfin buru-buru pulang ke kampus tempatnya kuliah, kemarin ia pulang ke rumah untuk menjenguk Alfan. Seharusnya besok ia kembali ke tempat nya kuliah tapi karna dosen nya ada acara maka di majukanlah jadwal kuliah nya sehingga membuat Alfin harus cepat-cepat kembali agar tidak tertinggal pelajaran. Ketika sudah menempuh setengah perjalanan Alfin mengalami kecelakaan. Karna terburu–buru Alfin tidak melihat bahwa dijalan tersebut terdapat sebuah lubang yang cukup dalam sehingga sepeda motor Alfin terbanting hingga mengenai sebuah sepeda motor milik seorang bapak-bapak yang terparkir di depan sebuah toko bangunan, kebetulan bapak itu sedang berbelanja bahan bangunan di toko tersebut. Ketika bapak tersebut keluar dari toko betapa terkejut nya ia ketika melihat motor nya dalam keadaan tidak baik–baik saja.

“Ada apa ini? apa yang terjadi?” tanya bapak tersebut. Salah seorang disana menjawab pertanyaan dari bapak pemilik motor tersebut yang ternyata namanya adalah Pak Ahmad, setelah mendengar cerita dari orang tersebut Pak Ahmad terlihat menahan amarah. Alfin berjalan dengan tertatih–tatih, ia meminta maaf kepada Pak Ahmad atas kesalahan yang ia lakukan. “Coba cek apakah motor saya rusak” suruh Pak Ahmad. “Kap motornya rusak pak” jawab Alfin. “bayar biaya perbaikan motor saya!” kata Pak Ahmad. Alfin tertegun setelah mendengar perkataan Pak Ahmad, ‘bagaimana ini, aku sedang tidak punya uang, jangan kan untuk makan, bensin saja harus irit’ batinnya dalam hati.

Tanpa Alfin sadari Pak Ahmad berjalan kearah motor Alfin untuk membantu mengangkat motor Alfin yang masih tergeletak. Betapa terkejut nya Pak Ahmad Ketika mendapati sebuah mushaf Alqur’an kecil yang terdapat di jok motor milik Alfin. Pak Ahmad tertegun beberapa saat, setelah sadar dari rasa terkejutnya. Tiba-tiba Pak ahmad menarik tangan Alfin menuju ke sebuah rumah makan yang tak jauh dari toko bangunan tadi. Setelah Pak Ahmad memesan minuman untuk Alfin minum. Setelah beberapa saat terdiam Pak Ahmad mulai angkat suara “Saya tidak mau tau, pokoknya adek harus bayar biaya perbaikan motor saya” tegas Pak Ahmad. Mendengar itu Alfin tertegun, ia tidak tau harus menjawab apa. Pak ahmad kembali mengatakan hal yang sama. Lagi lagi Alfin terdiam dan menunduk.

Tiba–tiba Pak Ahmad mengangkat sebuah benda kecil di tangan nya, benda itu merupakan mushaf Alqur’an milik Alfin. “apa ini?” tanya-nya. “Alqur’an pak “ jawab Alfin. “Untuk apa kamu membawanya??” tanya-nya kembali. “Pak, Alqur’an tersebut saya gunakan untuk menghafal dan mengulang kembali apa yang sudah saya hafal, Alqur’an tersebut merupakan hadiah ulang tahun yang di berikan ayah saya saat saya masih berumur 14 tahun, di saat saya sedang istirahat saya akan mengulang hafalan saya agar tidak lupa” jawab Alfin kembali.

Tertegun Pak Ahmad ketika mendengar pengakuan seorang pemuda di depannya ini, senang mengetahui masih ada generasi muda yang mencintai kitab suci Alqur’an, rasa terharu, bahagia, malu, bercampur aduk menjadi satu. Beliau menangis terharu, tidak dapat dibayangkannya, hari ini didepannya duduk seorang pemuda yang masih memprioritaskan Alqur’an sebagai pedoman hidupnya.

Setelah duduk diam beberapa saat, Pak Ahmad bangkit dari duduknya. Beliau berkata “mari kita ke klinik untuk membersihkan lukamu, perihal motor saya tidak usah kamu fikirkan  biaya perbaikannya” kata Pak Ahmad sambil menarik tangan Alfin. Alfin tanpa sadar mengikuti langkah Pak Ahmad hingga sampai ke klinik tersebut, setelah menunggu beberapa saat luka Alfin telah dibersihkan dan diberi obat, pak Ahmad membayar biaya berobat luka Alfin.

Pak Ahmad dan Alfin kembali ke tempat kejadian tadi, Alfin mencium tangan Pak Ahmad sambil mengucapkan banyak terimakasih atas pertolongan Pak Ahmad, Alfin juga meminta maaf atas kejadian yang barusan terjadi, bibirnya pun tak henti-hentinya melafalkan kalimat hamdalah. Pak Ahmad hanya mengangguk dan tersenyum sembari menepuk lembut bahu Alfin. Alfin kembali melanjutkan perjalanan, entah mengapa hatinya merasa bahagia sekali. Setelah bertemu dengan Pak Ahmad ia teringat akan siluet bayangan ayah nya yang sudah lama tiada.

“Ibu, Alfin sedang mengupayakan banyak mimpi yang dulu pernah Alfin ceritakan pada ibu. Meskipun ibu sudah tidak ada disisi Alfin, tetapi Alfin mau ibu tetap mendoakan alfin. Tanpa doa dari ibu Alfin tidak akan mampu melawan kerasnya hidup ini, tanpa doa ibu Alfin bukanlah apa-apa. Jadi tetaplah temani Aku hingga ceritaku selesai.” Batin Alfin berkata sambil tersenyum.

***

4 bulan kemudian, Alfin telah lulus dan Alfin adalah satu-satunya mahasiswa yang menyandang gelar hafidz 30 juz. Rasanya Alfin sangat bahagia, tetapi rasa bahagia itu sedikit terkikis ketika mengingat orang-orang yang sangat di sayanginya tidak dapat berdiri disampinya, tidak dapat menemani dan menyaksikan Alfin di hari bahagianya, dimana dulu hari inilah yang sangat ditunggu-tunggu. Namun, dengan ditemani sang adik di sampingnya membuat rasa sedih nya sedikit mereda. Alfan hadir di acara kelulusan sang kakak, ia tersenyum bangga melihat kakaknya telah berhasil.

“Ibu, ayah, nenek, Alfin telah berhasil. Alfin telah berhasil mengejar cita-cita Alfin. hari ini, detik ini Alfin berdiri di depan ribuan orang sembari tersenyum bangga, ketika nama ku dipanggil nama ayah dan ibu juga turut diucapkan dan di dengar oleh mereka semua. Keberhasilanku di saksikan oleh mereka semua. Ayah, ibu, tidak kah kalian bangga atas keberhasilan anakmu ini?, Aku harap kalian menyaksikan aku dari atas sana, terimakasih ibu, ayah…” Ucap Alfin dalam hati sembari tersenyum haru

Penulis: Hadia Humaira
Tulisan ini telah meraih Juara 1 pada lomba menulis Kisah Inspiratif yang diselenggarakan oleh F-PeKAT pada acara HAB ke 78

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *