Buku Bersampul Merah

Buku bersampul merah, tergeletak diatas meja diatara berbagai macam perlengkapan mengajarku di ruang guru. Sudah tiga minggu buku itu ada di sana. M. Afdhalul Zikra, tertulis dibagian depan buku, tulisannya agak kurang rapi, tetapi  dari tulisan itu kita bisa mengetahui siapa sebenarnya pemilik buku itu.

Aku tertegun ketika memandang buku itu. Ada kisah yang belum selesai yang membuatku merasa sedikit  kecewa. Mengapa bisa merasa kecewa? Padahal di halaman terakhir yang terisi ada nilai 75 dan ada tanda tanganku di sana. Nilai 75 bukanlah nilai yang buruk, sudah berada di atas KKM.

Zikra, pemilik buku bersampul merah siswa kelas VIII – 5 MTsN 1 Aceh Timur. Perawakannya khas anak pesisir. Ia harus menempuh jarak yang jauh untuk bisa sampai ke sekolah. Dengan kondisi jalanan yang cukup sulit. Namun Ia rajin datang ke sekolah. Tetapi ketika sampai di sekolah, Ia lebih banyak menyibukkan diri dengan tingkahnya. Dan ciri khas yang melekat padanya ialah selalu berbicara di kelas, cenderung tak peduli dengan pelajaran yang sedang diajarkan oleh guru. Semua guru cepat mengingatnya, karna dia memang mempunyai sesuatu yang mudah untuk di ingat.

Hari itu seperti biasa aku mengajar di kelas VIII-5. Kali ini dengan materi teks Eksplanasi yang sudah aku persiapkan. Setelah memberikan penjelasan tentang teks ekplanasi kepada siswa, aku meminta mereka untuk menuliskan jawaban dari pertanyaan mengapa dan bagaimana gempa bumi terjadi.

Siswa-siswi mulai menulis jawaban dari pertanyaan di bukunya masing-masing. Seperti biasa di saat teman-temannya yang lain mengerjakan tugas, zikra  sibuk berbicara, ada saja yang dibicarakannya, suaranya yang keras mengganggu teman-teman yang lain.

“ Sudah selesai tugasmu zikra?” tanyaku. “Han Jeut lon buk (Saya tidak bisa buk)” jawabnya menggunakan Bahasa Aceh. Bahasa Indonesianya memang agak terbata-bata. Ia lebih senang menggunakan bahasa Aceh. Meskipun Ia tahu gurunya tidak bisa berbahasa Aceh.

“ Sini ke depan , bawa buku dan pulpenmu ke meja ibu.” Kataku mengajaknya.

Lalu dia pun menggeser kursinya, duduk didepan berhadapan denganku di meja guru. Seketika suasana kelas menjadi riuh. Beberapa siswa terlihat tertawa melihat  pemandangan seperti itu. “Seperti anak SD,  menulis saja harus diajarkan ibu guru.”  Celetuk kawan-kawannya dari belakang.

Ia tidak peduli dengan candaan teman-temannya hari itu. “ Apa yang harus saya lakukan bu? “ Tanyanya. “ Coba kamu tulis di buku ini, menurutmu bagaimana gempa bumi terjadi? Tanyaku. Sejenak Ia terlihat berfikir keras, namun masih belum menuliskan apa-apa. “ Kamu pernah merasakan gempa?, Apa yang kamu rasakan?” tanyaku lagi. “Bergoyang bu!” Jawabnya spontan sambil mengangkat tangannya ke atas dan senyumnya melebar. “Iya, benar..Ayo tulis di bukumu apa yang kamu rasakan ketika gempa terjadi.” Aku juga ikut tersenyum melihat tingkahnya.

Ia terlihat senang dan bersemangat menulis jawaban dari hasil pemikirannya sendiri. Tetapi ada yang aneh ketika ia menuliskan jawaban, Ia berhenti di huruf  ke delapan. “ Mengapa berhenti? Tanyaku. “ Ayo lanjutkan, tulis jawabannya.” “ Setelah huruf a huruf apa lagi yang ditulis bu? Tanyanya kepadaku. Terasa tertampar aku menjadi guru hari itu. Ternyata siswa kelas 8 ada yang tidak bisa menulis dengan benar.

Ternyata selama ini aku terlalu terfokus kepada materi pelajaran. Terlalu fokus kepada silabus dan program semester yang harus dikejar. Menuntut semua siswa harus berfikir cepat dan jauh ke depan. Tanpa sadar ada siswa yang masih jauh ketinggalan. Ada siswa yang benar-benar butuh perhatian.

Aku hampir lupa bahwa hakikat mengajar yang sebenarnya adalah membuat siswa yang tidak bisa menjadi bisa. Bukan ajang untuk mencari tahu siapa yang dapat nilai paling tinggi pada saat ulangan atau ujian. Bukan hanya fokus mengejar materi belajar. Tidak mengherankan ketika ada ulangan dan ujian, siswa yang nilainya bagus, selalu itu-itu saja orangnya, begitu juga dengan  siswa yang remedial orangnya itu-itu saja. Mengapa bisa seperti itu? Karena dia tertinggal dari teman-temannya yang lain. Bukankah sebagai seorang guru, kita bertanggung jawab mengajarkan anak yang tertinggal itu supaya bisa seperti teman-temannya yang lain.

Dalam hati aku berjanji akan mencoba lebih memperhatikan siswa  unik seperti zikra. Sebenarnya ia bukan tak mau peduli dengan pelajaran, mungkin karna cara berfikirnya tidak secepat teman-teman yang lain, sehingga kalau tidak diberi perhatian khusus, Ia akan terus tertinggal dan akhirnya ia menjadi tidak peduli dengan proses belajar mengajar di kelas.

Hari itu, huruf demi huruf  ku ajarkan kepadanya, kudampingi ia menjawab soal sampai bel istirahat berbunyi. Ia terlihat begitu bangga menatap jawaban dibukunya. Hampir penuh setengah halaman. Namun jawabannya belum selesai juga. “Kumpulkan walaupun belum selesai”, kataku kepadanya.

“ Kumpulkan tugasnya ke depan bel istirahat sudah berbunyi” kataku kepada siswa yang lain. Setelah semua tugas terkumpul, aku memberi salam dan bergegas meninggalkan kelas. Saat aku berjalan  menuju kantor guru, terdengar ada seseorang memanggilku. “Bu..bu..tunggu!” Aku segera menoleh ke belakang. Dan ternyata yang memanggilku adalah zikra. “Iya, ada apa zikra?” Tanyaku.

 “ Terima kasih bu, Terima kasih ibu sudah mengajarkan saya hari ini” ucapnya. Ya Allah.. serasa meleleh semua gunung salju lelah yang ada di hatiku. Seorang zikra yang luar biasa di kelas. Yang tak mau membuat tugas, yang tak peduli apapun. Dengan tulusnya ia mengucapkan terima kasih kepadaku di hari itu. Bagiku, Kata terima kasihnya lebih dari pengobat penat selama mengajar di kelas itu. Baru hari itu rasanya aku benar-benar berhasil menjadi seorang  guru.

Kata terima kasih dari zikra hari itu mejadi mood booster baru buatku untuk mengajar di kelas VIII-5. Pertemuan selanjutnya aku begitu bersemangat melangkahkan kaki ke kelas VIII-5. Dengan membawa tugas siswa yang sudah ku beri nilai. Buku bersampul merah milik zikra ku letakkan paling atas. Aku ingin segera memberitahunya bahwa nilai tugasnya bagus.

Setelah mengabsen, ternyata zikra tidak hadir. Pertemuan selanjutnya Ia juga tidak hadir. Buku bersampul merah selalu ku bawa ketika masuk kelas VIII-5. Namun zikra tetap tidak hadir. Pertemuan minggu berikutnya, saat mengabsen, salah seorang siswa berkata : “Zikra sudah tidak sekolah di sini lagi bu, Ia sudah pindah sekolah.” Seketika itu juga perasaanku campur aduk. Aku menatap buku bersampul merah yang selalu kubawa. Ada sesuatu yang belum selesai dengan buku itu. Ada sesuatu yang belum sempat  kuucapkan kepada pemiliknya. Aku belum sempat memberi ucapan selamat karna dia berhasil menjawab soal hari itu. Aku belum sempat memperlihatkan nilai 75 kepadanya.  Ia belum sempat melihat nilai tugasnya yang susah payah ditulisnya hari itu.

Tak ku sangka hari itu adalah hari terakhir aku melihat zikra. Kata “ Terima  kasih” adalah kata terakhir yang ia ucapkan kepadaku. Selamat jalan zikra, di manapun kau berada, semoga kelak cita-citamu  tercapai. Terimakasih telah mengajarkanku arti “ Mengajar” yang sesungguhnya. Dan terima kasih karena telah membuatku berhasil menjadi seorang guru yang sesungguhnya di hari itu.

Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul “Secuil Kisah Semesta Cinta” pada tahun 2022

7 thoughts on “Buku Bersampul Merah

  • Februari 13, 2022 pada 6:42 am
    Permalink

    Masya Allah, tulisan yang luar biasa. Terimakasih cek gu

    Balas
    • Februari 13, 2022 pada 1:01 pm
      Permalink

      Alhamdulilah bu, saya ingin berbagi kisah kpd pembaca, semoga kita sama_sama belajar menjadi guru sejati yang sesungguhnya. Dengan melihat sisi lain dari siswa2 khusus yg butuh perhatian lebih dari kita sebagai seorang pendidik.

      Balas
  • Februari 14, 2022 pada 10:29 am
    Permalink

    Masyaallah buk..tulisan ini mengandung bawang ..semoga kedepan nya semua guru bisa lebih perhatian dan bijak dalam memahami kondisi ank didik nya..

    Balas
    • Februari 14, 2022 pada 8:17 pm
      Permalink

      Aamiin, semoga kisah yg saya tulis ini bisa menjadi self remider untuk kita sebagai seorang pendidik. Tentang sejauh mana sebenarnya pemahaman kita dalam memahami anak2 didik kita.

      Balas
    • Februari 18, 2022 pada 11:33 am
      Permalink

      MasyaAllah bu linda Artikelnya luar penulisnya kami juga mau berbagi ilmu semoga terwujudnya Profil pancasila merdeka belajar

      Balas
      • Februari 22, 2022 pada 1:27 pm
        Permalink

        Insya Allah bu, semoga terwujud..

        Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *