Banjir Telah Surut, Masa Depan Anak-anak Jangan

Tahun ajaran baru akan segera dimulai pada 5 Januari 2026.

Di banyak tempat, tanggal itu identik dengan kesibukan sekolah: pembagian kelas, jadwal pelajaran, dan persiapan belajar kembali. Anak-anak biasanya datang dengan tas yang rapi, sepatu yang masih bersih, dan semangat baru setelah libur panjang.

Namun suasana itu tidak sepenuhnya kami rasakan di MTsN 1 Aceh Timur, Kecamatan Simpang Ulim.

Di sini, menjelang tahun ajaran baru, sebagian siswa justru masih bergulat dengan sisa-sisa bencana. Air memang sudah surut, tetapi bekasnya belum benar-benar pergi. Lumpur masih menempel di rumah, di halaman, di sudut-sudut kehidupan warga. Banyak keluarga masih membersihkan, memperbaiki, atau sekadar mencoba menata ulang hidup mereka yang sempat terhenti.

Bagi sebagian siswa kami, pertanyaan menjelang masuk sekolah bukanlah tentang kelas baru atau mata pelajaran baru.

Pertanyaan mereka jauh lebih sederhana, namun berat:

Apakah aku masih bisa sekolah?

Apakah orang tuaku masih mampu memenuhi kebutuhanku?

Apakah aku harus bekerja dulu tahun ini?

Tanggal 5 Januari itu semakin dekat.

Dan tidak semua anak menyambutnya dengan perasaan yang sama.

Banjir yang melanda Kecamatan Simpang Ulim bukan peristiwa kecil. Curah hujan tinggi, meluapnya sungai, serta sistem drainase dan irigasi yang tidak mampu menahan debit air menyebabkan pemukiman dan lahan pertanian warga terendam. Beberapa hari air menggenangi rumah, sekolah, dan sawah.

Mayoritas orang tua siswa kami adalah petani. Sawah adalah sumber hidup mereka. Dari sanalah biaya makan sehari-hari, kebutuhan rumah tangga, dan keperluan sekolah anak-anak dipenuhi. Namun banjir merusak lebih dari sekadar tanaman.

Di banyak tempat, irigasi rusak, aliran air ke sawah terputus (https://rri.co.id/daerah/2072925/sebelas-ribu-hektar-lebih-sawah-di-aceh-timur-terendam-banjir).  Tanah pertanian yang biasanya produktif kini retak dan tertutup lumpur. Artinya, dalam waktu dekat, tidak ada panen. Tidak ada pemasukan yang bisa diharapkan.

Ketika orang tua kehilangan sumber penghasilan, anak-anak ikut merasakan dampaknya secara langsung.

Kami melihat sendiri bagaimana keadaan siswa saat banjir melanda.

Ada yang tasnya hanyut terbawa banjir.

Ada yang sepatunya rusak dan belum terganti.

Ada yang seragamnya basah, berlumpur, dan tidak lagi layak pakai.

Buku pelajaran banyak yang rusak, alat tulis hilang, bahkan ada yang sama sekali tidak tersisa.

Sekolah kami tidak memungut biaya pendidikan.

Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa sekolah gratis tidak otomatis menghilangkan beban hidup keluarga.

Untuk datang ke sekolah, siswa tetap butuh jajan dan ongkos.

Untuk belajar dengan layak, mereka butuh perlengkapan dasar.

Dan di rumah, orang tua mereka sedang berjuang keras untuk sekadar memenuhi kebutuhan makan.

Sebagian besar siswa kami berada di usia yang rentan, usia peralihan dari remaja menuju dewasa.

Di usia ini, tekanan ekonomi sangat mudah menggeser arah hidup mereka.

Ketika keluarga kesulitan, anak-anak sering merasa punya tanggung jawab untuk membantu. Banyak dari mereka mulai bekerja serabutan seperti membantu di kebun orang lain, menjadi buruh harian, atau pekerjaan apa pun yang bisa menghasilkan uang, meski kecil.

Bukan karena mereka tidak ingin sekolah.

Justru sebaliknya, banyak dari mereka ingin bertahan, tetapi keadaan memaksa mereka untuk memilih.

Yang paling menyedihkan, di antara anak-anak ini terdapat siswa-siswa berprestasi.

Tahun ini saja, siswa MTsN 1 Aceh Timur mencatat prestasi dari tingkat lokal hingga nasional (https://mtsn1acehtimur.sch.id/category/prestasi/). Anak-anak desa yang membuktikan bahwa keterbatasan ekonomi tidak menghalangi kemampuan dan kecerdasan.

Namun banjir tidak membedakan.

Prestasi tidak mengeringkan sawah.

Piala tidak menggantikan tas dan sepatu yang hilang.

Jika kondisi ini dibiarkan, maka ancaman putus sekolah bukan lagi kemungkinan, melainkan kenyataan yang pelan-pelan sedang terjadi. Bukan karena mereka gagal belajar, tetapi karena kehidupan memaksa mereka berhenti.

Di titik inilah kami menyadari:

jika tidak ada dukungan, bukan hanya pendidikan yang terhenti, tetapi masa depan anak-anak ini bisa terputus selamanya.

Sejak bencana terjadi, sekolah kami belum kembali berjalan seperti biasa. Kegiatan belajar mengajar diliburkan sementara, menunggu sekolah benar-benar siap dan aman untuk digunakan. Bukan karena kami ingin menunda pendidikan, tetapi karena memaksakan keadaan justru akan menambah luka yang sudah ada.

Bangunan sekolah memang masih berdiri. Namun hampir semua fasilitas di dalamnya rusak terendam air. Arsip administrasi, berkas-berkas penting, buku, peralatan belajar, komputer, dan berbagai alat pendukung pendidikan tidak terselamatkan. Lumpur masuk ke setiap ruangan, menyisakan bau, sisa-sisa kotoran, dan kehancuran yang tidak bisa dipulihkan dalam waktu singkat.

Melihat kondisi sekolah seperti ini, kami memahami bahwa keadaan di rumah-rumah siswa tidak mungkin lebih baik. Bahkan, bagi banyak siswa, kondisinya jauh lebih berat.

Sebagian besar rumah siswa kami tidak dibangun dari dinding beton. Banyak yang masih berdinding kayu, sebagian lainnya beratapkan terpal plastik. Ketika banjir datang, rumah-rumah ini tidak hanya terendam, tetapi kehilangan hampir seluruh isinya. Pakaian hanyut, perabot rusak, buku-buku basah, dan perlengkapan sekolah tidak lagi bisa digunakan.

Kesedihan anak-anak ini sering kali tidak terucap. Mereka jarang mengeluh. Mereka tidak datang menangis ke sekolah. Namun kami tahu, di balik diam mereka, ada kebingungan dan ketakutan: takut tidak bisa kembali sekolah, takut membebani orang tua, takut masa depan yang selama ini mereka perjuangkan perlahan menghilang.

Bagi sebagian anak, kehilangan tas atau sepatu mungkin terlihat sepele. Tetapi bagi anak-anak ini, kehilangan itu berarti kehilangan keberanian untuk kembali duduk di bangku sekolah.

Pada awal masa pemulihan, kami sempat mengajak siswa untuk hadir membantu membersihkan sekolah. Kami berharap kegiatan sederhana ini bisa menjadi awal pemulihan bersama. Namun yang hadir hanya beberapa orang saja.

Kami tidak pernah menafsirkan ketidakhadiran mereka sebagai bentuk ketidakpedulian. Justru sebaliknya, kami memahami betul alasan di baliknya. Di tengah kondisi pasca bencana, keluarga lebih membutuhkan kehadiran anak-anak mereka. Ada rumah yang harus dibersihkan, barang-barang yang harus diselamatkan, dan pekerjaan tambahan yang harus dilakukan demi bertahan hidup.

Bahkan siswa yang datang pun hadir dengan kondisi yang memprihatinkan. Mereka datang tanpa perlengkapan yang layak. Banyak yang tidak memakai sepatu. Sebagian hanya mengenakan alas kaki seadanya. Di lingkungan sekolah yang masih dipenuhi lumpur, paku, dan pecahan kaca, kondisi ini sangat berbahaya.

Kami melihat kaki-kaki kecil itu melangkah di antara sisa-sisa bencana. Kami menyadari bahwa niat baik mereka tidak boleh dibayar dengan risiko keselamatan.

Anak-anak ini datang bukan karena mereka siap, tetapi karena mereka merasa punya tanggung jawab. Dan di situlah kami merasa perlu berhenti sejenak.

Kami akhirnya memutuskan untuk tidak lagi meminta siswa hadir ke sekolah sebelum kondisi benar-benar aman dan layak. Keputusan ini bukanlah tanda menyerah, tetapi bentuk perlindungan. Kami memilih untuk menjaga keselamatan mereka terlebih dahulu, karena pendidikan tidak boleh dibangun di atas risiko dan penderitaan.

Keputusan ini semakin menegaskan satu hal:
bahwa anak-anak kami sedang berada dalam kondisi yang sangat rapuh. Mereka ingin sekolah, mereka ingin membantu, tetapi keadaan belum memberi mereka ruang untuk itu.

Sampai pada titik ini, kami menyadari satu hal penting:
anak-anak ini tidak membutuhkan janji besar.
Mereka hanya membutuhkan kesempatan untuk kembali berdiri.

Mereka ingin kembali ke sekolah. Mereka ingin belajar lagi. Mereka ingin melanjutkan mimpi yang selama ini mereka bangun dengan susah payah. Namun untuk bisa kembali duduk di bangku sekolah, mereka membutuhkan hal-hal yang sangat mendasar, hal-hal yang bagi sebagian orang mungkin terlihat sederhana, tetapi bagi mereka saat ini terasa sangat jauh.

Tas untuk membawa buku.
Sepatu untuk melindungi kaki mereka.
Seragam agar mereka percaya diri untuk kembali hadir.
Buku tulis dan alat tulis untuk memulai kembali proses belajar.

Tanpa itu semua, keinginan untuk sekolah sering kali kalah oleh rasa malu, keterbatasan, dan tekanan hidup keluarga. Anak-anak ini tidak ingin menyusahkan siapa pun. Justru karena itu, sebagian dari mereka memilih diam, memilih menunda, bahkan memilih mengalah.

Di sinilah peran kita bersama menjadi sangat berarti.

Kami percaya, masih banyak hati yang tergerak ketika melihat anak-anak berjuang di tengah keterbatasan. Masih banyak tangan yang mau membantu agar banjir tidak menjadi akhir dari perjalanan pendidikan mereka.

Bantuan yang diberikan hari ini bukan hanya membantu mereka kembali ke sekolah, tetapi juga menyelamatkan masa depan mereka dari risiko putus sekolah.

Kami membuka ruang partisipasi bagi siapa saja yang ingin meringankan beban siswa-siswi kami di MTsN 1 Aceh Timur, Kecamatan Simpang Ulim. Bentuk bantuan yang kami harapkan sangat sederhana dan langsung menyentuh kebutuhan mereka.

Bapak/Ibu dapat mengirimkan langsung perlengkapan sekolah berupa Tas sekolah, Sepatu, Seragam, Buku tulis, Alat tulis dan Perlengkapan belajar lainnya yang layak pakai

Bantuan tersebut dapat dikirim ke:
MTsN 1 Aceh Timur
Desa Peulalu
Kecamatan Simpang Ulim
Kabupaten Aceh Timur

Setiap perlengkapan yang diterima akan kami data dan salurkan langsung kepada siswa yang benar-benar membutuhkan.

Atau bisa juga Donasi Melalui Rekening Sekolah

Bagi Bapak/Ibu yang ingin membantu melalui donasi, dapat menyalurkannya melalui rekening berikut:

🏦 Bank Syariah Indonesia (BSI)
No. Rekening: 7212939147
Atas Nama: MTsN 1 Aceh Timur

Donasi yang terkumpul akan digunakan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan perlengkapan sekolah siswa terdampak bencana.

Kami memahami bahwa tidak semua orang dapat membantu dalam jumlah besar. Namun kami percaya, sekecil apa pun bantuan yang diberikan, akan sangat berarti bagi anak-anak kami.

Jika hari ini seorang anak bisa kembali ke sekolah dengan tas di punggung dan sepatu di kakinya, maka itu bisa menjadi titik balik dalam hidupnya.

Jika hari ini kita memilih untuk peduli, maka besok mereka bisa kembali bermimpi.

Karena ketika siswa telah berusaha bertahan di tengah keterbatasan,
dan sekolah telah berusaha hadir sebisanya,
maka kepedulian Andalah yang kini menjadi jembatan harapan mereka.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *