Bukan Kertas Soal, Tapi Tindakan Nyata

Di daerah yang banjirnya mulai surut, sebagian aktivitas memang perlahan kembali berjalan. Namun bagi kami, keadaan belum benar-benar pulih. Lumpur masih tersisa di banyak sudut, sampah menumpuk di halaman, ruang belajar belum sepenuhnya layak pakai, dan yang paling berat: luka kelelahan masih terasa di tubuh dan hati warga sekolah.

Dalam kondisi seperti ini, melaksanakan Ujian Akhir Semester seperti biasa adalah hal yang mustahil dan tidak bijak.

Ada guru yang rumahnya masih berlumpur, ada siswa yang kehilangan buku, seragam, bahkan tempat tinggal sementara. Ada orang tua yang masih sibuk membersihkan sisa-sisa bencana, ada keluarga yang belum benar-benar pulih dari dampak fisik maupun mental.

Lalu, bagaimana mungkin kami memaksa anak-anak duduk menghadap kertas ujian seakan tidak terjadi apa-apa?

Justru di sinilah sekolah harus hadir sebagai ruang yang paling manusiawi.

Maka kami memilih jalan yang berbeda.

Bukan terburu-buru mengejar ketertinggalan materi, tetapi memulai dari kebutuhan yang paling nyata: pemulihan lingkungan sekolah dan pemulihan jiwa warganya.

Kami mengubah ujian menjadi aksi nyata.

Kami mengajak siswa untuk membantu sekolah secara gotong royong, membersihkan lingkungan secara bertahap dan bergiliran.
Setiap kelas, setiap hari, diwajibkan mengirimkan 8–10 siswa untuk hadir dan berkontribusi dalam kegiatan pembersihan dan penataan kembali lingkungan sekolah.

Mereka membersihkan halaman, selokan, ruang kelas, membantu menata kembali buku-buku dan perlengkapan belajar, menanam, menyapu, mengangkat, dan merapikan. Semua dilakukan bersama guru dan tenaga kependidikan.

Nama-nama siswa dicatat, kehadiran mereka didata, dan keaktifan mereka dinilai. Inilah nilai pengganti Ujian Akhir Semester.

Di sinilah karakter diuji.
Di sinilah kepedulian dinilai.
Di sinilah pendidikan menemukan maknanya yang sejati.

Bagi kami, inilah ujian sebenarnya.

Banjir adalah sumber belajar.
Gotong royong adalah jawaban.
Kepedulian adalah standar kelulusan.

Kegiatan gotong royong ini tidak berhenti pada pembersihan lingkungan sekolah semata.
Setelah sekolah benar-benar pulih dan kembali bersih serta layak digunakan, komitmen kami belum selesai.

Sebagai bentuk tanggung jawab dan empati bersama, sekolah wajib menggalang bantuan untuk para siswa yang terdampak bencana secara lebih berat. Penggalangan bantuan ini akan dilakukan secara terbuka, melibatkan guru, siswa, orang tua, alumni, dan pihak-pihak lain yang ingin berpartisipasi.

Bantuan yang dikumpulkan akan diprioritaskan untuk siswa yang kehilangan rumah, buku, perlengkapan sekolah, seragam, dan kebutuhan dasar lainnya.

Dengan demikian, proses ini tidak hanya satu arah.

Siswa hadir membantu sekolah.
Dan sekolah hadir membantu siswa.

Inilah nilai kemanusiaan yang ingin kami tanamkan:
bahwa dalam musibah, kita tidak berjalan sendiri,
dan dalam pendidikan, yang paling utama bukan angka, tetapi rasa saling Peduli.

Tulisan ini di adopsi dari pemikiran Zubir Agam (https://www.facebook.com/zubir.agam) yang kemudian disesuaikan dengan keadaan sekolah kami. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *