Jerih yang Terlupakan
Dia orang pertama yang mengenalkan huruf alif, ba, ta, dan tsa. Sosok perempuan dengan kehidupan sederhana yang ikhlas menyisakan waktu untuk mengajarkan pelajaran dasar untuk mendalami Al-Quran. Tidak mengeluh dengan segala sikap dan tingkah yang kurang baik dari santrinya. Tidak ada iuran wajib yang beliau tetapkan sebagai jerih, hanya sekedar sumbangan sukarela itupun kalau ada. Kesabarannya luar biasa patut dijadikan teladan buat kita semua.
Seperti biasa, usai shalat Zhuhur, para santri berdatangan ke rumahnya untuk mengaji dan berkumpul di ruang tamu. Setelah membaca doa bersama, pengajian dimulai dan segera terdengar suara lantunan AL-Quran dibacakan. Aktivitas mengajar Alquran dilakukan setiap hari. Tidak ada kelender dengan tanggal merah atau hari libur lainnya.
Aku memanggilnya Mami, beliau guru ngajiku. Aku belajar darinya pengenalan alif, ba, dan ta. Diajarkan juga kitab Masailal dan Bidayah hingga aku bisa membaca dan memahami isinya. Menghafal doa-doa serta praktek langsung bacaan dan gerakan dalam shalat berjamaah juga menjadi bagian penting yang harus dikuasai. Semua menjadi bekal dalam menjalani hidup ini. Sayangnya, setelah tamat SD aku melanjutkan pendidikan ke Banda Aceh dan setelah menikah pindah ke Aceh Timur.
Idul Fitri dan Idul Adha menjadi dua hari yang paling aku nantikan. Setelah shalat Ied dengan mengenakan baju, sandal, jilbab dan lainnya yang serba baru, aku dan beberapa teman bersilaturrahmi ke rumah Mami. Sungkem sambil mencium tangan dengan takdhim sebagai bakti dan permintaan maaf atas kesalahan yang telah dilakukan. Aku tidak datang dengan tangan kosong, gula sekilo, bolu cake serta amplop adalah titipan orang tua untuknya. Aku sering penasaran ingin tahu berapa isi amplop, memang tidak banyak dan tidak akan pernah sesuai jika dibandingkan dengan jerih dan kesungguhannya selama ini. Inilah saat-saat yang paling aku sukai, bersuka cita dengan guru ngaji.
Suguhan sirup merah dan hijau menjadi minuman favorit setiap lebaran. Tidak ada kue Nastar, Lontong Paris, Coklat Milo, Coco Crunch, Es Buah apalagi Blackforest. Hanya ada kue Bawang, Rempeyek dan kue Mulu serta kue Bhoi. Semua memang kue jadul, tapi aku begitu menikmatinya seraya tertawa bahkan temanku ada yang minum dua gelas sekaligus, haus katanya, hahaha kami semua pun tertawa dibuatnya.
Rumah Mami menjadi rumah pertama yang aku kunjungi. Hanya duduk di tikar yang mulai usang dengan warna yang semakin memudar. Sama sekali tidak ada sofa empuk ataupun ambal berbulu tebal layaknya rumah orang-orang di hari lebaran. Tidak ada kemewahan, tidak juga dengan rangkaian bunga yang menghiasi setiap sudut ruangan. Kesederhanaan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan dan isi ruangan. Begitu nyata dan terasa ada ikatan kebersamaan yang mengikat antara seorang guru ngaji dan kami para santri-santrinya.
Setelah pindah ke Banda Aceh, aku masih sering mendatanginya setiap lebaran. Namun seiring waktu, rutinitas itu sering terlupakan. Aku tidak tahu apakah karena kesibukan yang aku ciptakan sendiri atau karena rasa malas yang membuatku melalaikan kewajiban terhadap guru ngajiku.
Aku sering bertemu dengannya dan berbicara sekedarnya di jalan ataupun di tempat lain. Ada rasa malu menyelimutiku. Kadang sempat terpikir terlalu sibukkan aku, lima menitpun tidak ada waktu untuk bersilaturahmi ke rumahnya untuk sekedar melihat dan bertanya bagaimana keadaannya. Sudah hilangkah rasa hormat dan takdhimku padanya? Seolah-olah rasa hormatku padanya hilang tanpa bekas. Jasa dan jerihnya terlupakan sesaat. Padahal jerihnya menjadikanku mahir membaca Al Qur’an dengan makhraj yang baik. Lelahnya membuatku hafal doa-doa dalam shalat. Didikannya menjadikanku manusia yang lebih baik dan tahu adab. Mungkin ini kesalahan yang pernah aku lakukan dan ketika aku menyadarinya hanya air mata sebagai jawabannya. Pantaskah jerihnya terlupakan?
Kini, Mami sudah sepuh, sering sakit-sakitan. Gerakannya sudah tidak gesit lagi. Jalannya sudah mulai pelan dengan langkah yang tidak lagi lebar. Apalagi mendayung sepeda ketika ingin berpergian jauh, aktivitasnya sudah terbatas, sekarang beliau telah berhenti menjadi guru ngaji. Dikampung sudah banyak ustadz dan ustadzah muda tamatan dari pasantren yang lebih kompeten dalam mengajarkan Al-Quran. Semangat mereka luar biasa untuk mencerdaskan anak bangsa. Cara dan metode yang mereka gunakan bagus namun tetap tidak mampu menandingi kesederhanaan, keikhlasan dan metode yang Mami terapkan.
Dengan “rotan keramat” (aku menyebutnya begitu) beliau mendisiplinkan santrinya, Mami berkata “Mami sayang kalian, bila Mami marah dan memukul kalian dengan rotan, itu sebenarnya setan-setan yang Mami pukul, Mami berusaha mengusir mereka yang bersembunyi di tubuh kalian”. Waktu itu aku percaya saja apa yang Mami katakan, tidak seorangpun berani protes. Jangan pernah pulang kerumah dan mengadu kepada orang tua bagaimanapun mereka tidak akan membenarkan malahan bertambah-tambah kemarahannya.
Sering aku diingatkan emak untuk silaturrahmi ke tempat Mami. “Jenguklah beliau walau sebentar, jangan lupa jasa dan kebaikannya padamu. Ingat keberhasilanmu sekarang adalah bagian dari jerih dan doanya”. Aku sangat sadar tanpanya aku bukanlah apa-apa.
Akhir bulan Mei 2022, aku dan keluarga pulang kampung bersilaturrahmi dengan sanak keluarga. Aku juga menyempatkan diri berkunjung ke rumah Mami. Bersama si bungsu aku menelusuri jalan setapak yang dulu biasa aku gunakan. Sesekali aku bertatapan dengan warga yang lewat, aku hanya tersenyum dan ngobrol basa basi sebentar.
Banyak yang berubah, rumah kayu beratapkan daun rumbia kini tergantikan dengan rumah mewah, para pemuda dan anak gadis banyak yang tidak kukenal lagi. Tapi rumah Mami masih seperti dulu tidak banyak yang berubah hanya saja sekarang sudah dikelilingi oleh rumah beton yang menjulang.
Dari kejauhan nampak jelas aku melihat sosok perempuan dengan jilbab putih duduk dibangku panjang di depan rumah. Dengan tatapan tajam beliau melihat kearahku ketika jarak semakin mendekat. Beliau masih mengenalku. Tatapannya tajam sama seperti dulu teduh bersahaja dan menyejukkan.
“Assalamualaikum”, aku memberi salam, aku mencium tangan keriputnya dan memeluk tubuh yang sudah sangat lemah. Kupandang wajahnya dalam-dalam, ada rasa menyesak dada, ada tangis yang kutahan dan ada rindu yang terobati. Sosok yang mungkin jerih dan jasanya terlupakan, terabaikan oleh para santrinya yang kini sudah menjadi pejabat, orang hebat, berpangkat dan berkedudukan tinggi. Luput dari ingatan bahwa ada sosok perempuan yang sangat berjasa dalam kehidupannya. Tidak pernah mengharapkan apapun, bahagianya jika melihat santrinya sukses dan berhasil.
Banyak hal yang kami bicarakan. Aku melirik jam yang melingkar di tangan kananku, sudah hampir satu jam rupanya kami mengobrol. Cepat sekali rasanya waktu berlalu. Aku minta maaf karena sudah lama tidak mengunjunginya dan aku juga minta didoakan agar selamat iman dan diberi kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Aku pamit, sekali lagi wajah tuanya kucium dengan air mata yang tidak tertahan. Ada kehangatan kurasa dari pelukannya. Kehangatan yang tidak mampu terlukiskan dengan kata-kata. Kehangatan yang menyejukkan mengalir terasa ke ubun ubun. Sesaat kami terjebak dalam kesedihan.
Dengan langkah ringan, aku meninggalkan rumahnya. Rumah yang sangat sederhana, pernah menjadi tempat terbaikku dalam bermain dan belajar. Lega dan bahagia yang luar biasa. Aku ingin menjadi santri yang berbakti. Aku juga ingin ilmu yang beliau ajarkan menjadi berkah menjadi sebab pintu syurga Allah terbuka. Semoga jerihnya menjadi amal jariah sepanjang masa.
Sungguh terharu,sambil ikut nangis baca kisahnya bu.sgt menginspirasi..sehat,sukses selalu tuk semua guru2 di seluruh dunia.amin.
Alhamdulillah, terimakasih Bu Maya