Keluh Kesah Wali Kelas

MENJELANG penerimaan siswa baru, kepala madrasah memberi tugas untuk mensosialisasikan PPDB di beberapa madrasah ibtidaiyah seputaran Kecamatan  Simpang  Ulim, Pante Bidari dan Julok. Aku dan Ibu Nuraini mendapat tugas ke MIN 14 Aceh Timur. Pada jadwal yang telah ditentukan kami pun berangkat mengemban tugas yang mulia.

Dari  sekian  banyak  murid  MIN 14  yang  telah  berkumpul  di ruangan, perhatianku tertuju pada salah satu siswa, sebut saja Je. Penampilannya yang acak-acakan, rambut yang jingkrak-jingkrak, tingkah laku yang sembrono, sangat berbeda dengan kawan-kawannya, terbesit dalam hati pasti ini anak istimewa. Anak yang butuh perhatian dan kasih sayang yang lebih dari guru. Saya masih fokus padanya, mungkin dia berasal dari keluarga broken home atau yatim piatu.

Ternyata Je menjadi salah satu siswa yang mendaftar di  MTsN  1  Aceh  Timur.  Setelah  pembagian  kelas  oleh  waka Kesiswaan,  dia  menduduki  kelas  VII-3  dan  saya  menjadi  wali kelasnya.

Pertama kali memasuki kelas VII-3, saya memperhatikan wajah mereka satu per satu. Wajah yang masih lugu, masih ada sikap kekanak-kanakan, masih suka bercanda dengan temannya. Saya tersenyum inilah tugas baruku sekarang. Membimbing, membina, mendidik, serta menjadi orang tua kedua bagi mereka.

Saya mengeluarkan roster pelajaran dan menyalinnya di papan tulis. Saya meminta semua siswa untuk mencatatnya, agar mereka bisa tahu jadwal pelajaran mereka. Semua diam sambil mencatatnya di buku tulis. Pandanganku selalu tertuju pada Je, sikapnya yang tidak tenang, spontan membuatku bertanya,  “Kamu kenapa tidak mencatat roster?” tanyaku padanya.

“Pulpen saya macet, Bu,” jawabnya tegas.

“Namamu siapa?” Dia spontan menjawab, “Je, Bu.”

Saya mendekati meja guru, mengambil pulpen dan memberinya kepada Je. Saya berdiri di sampingnya dengan memperhatikan dia menulis. Dengan sedikit kaku dan gemetar, dia mulai menulis yang saya sendiri tidak tahu apa yang dia tuliskan. Rupanya Je belum bisa menulis dan lancar membaca.

Proses pembelajaran terus berlangsung. Banyak guru yang mengeluh  tentang  sikap dan  ketidakmampuan  Je  dalam mengikuti pelajaran. Motivasi selalu saya berikan untuk terus belajar membaca dan menulis.

Memasuki bulan ketiga, Je mulai malas ke sekolah, tanpa surat dan tanpa pemberitahuan dari orang tua. Saya sudah pernah memanggil dan menasihatinya. Dia hanya tertunduk tanpa menyela satu kata pun. Saya sudah berupaya untuk mengirim surat beberapa kali kepada orang tuanya, untuk menyampaikan perkembangan Je belakangan ini, undangan tersebut tidak pernah terpenuhi sekali pun.

Saya mencari informasi dari kawannya kenapa orang tuanya tidak pernah mau datang ke sekolah ketiika ada surat panggilan orang tua. Rupanya Je seorang anak yatim sejak kelas 4 SD. Dia tinggal bersama kakak dan ibunya yang menjanda. Wajar jika sikapnya meminta perhatian lebih dari guru, ibunya harus bekerja setiap hari untk menafkahi kehidupan mereka bertiga. Pekerjaan yang harusnya dikerjakan oleh seorang ayah, tetapi apa hendak dikata semua sudah Allah gariskan demikian. Semua yang telah Allah tentukan, itulah yang terbaik. Kita tidak pernah tahu akan rencana Allah selanjutnya.

Hari ini, pendataan siswa yatim, piatu, dan yatim piatu untuk mendapatkan BSM. Salah satu nama yang tercatat adalah Je. Semua persyaratan harus dilengkapi, salah satunya mengumpulkan buku bank bagi siswa yang melanjutkan mendapat BSM. Saya dipanggil oleh koordinator BSM ke kantor TU.

“Je anak Ibu, ya?” mereka menggajukan pertanyaan itu pada saya.

“Ya, benar, dia anak yatim,” jawabku singkat.

“Hanya dia yang belum menyerahkan buku bank ke kami, Bu. Padahal ini hari terakhir penyerahan ke pihak bank,” mereka menjelaskan padaku.

Saya permisi dan langsung menuju kelas VII-3 menjumpai Je. Ternyata dia sudah absen beberapa hari. Aku bertanya pada siswa yang hadir tentang rumahnya. Ternyata tidak ada seorang pun yang tahu persis di mana rumahnya, yang mereka tahu, dia tinggal di Bantayan. Aku menarik napas panjang berusaha mencari siswa di kelas lain yang mengetahui rumah Je. Alhamdulillah, akhirnya ada salah satu siswi yang tahu alamatnya dengan jelas. Saya harus berpacu karena limit waktu yang diberikan sampai pukul 13.30 WIB, dan sekarang sudah menunjukkan pukul 11.55  WIB.  Pikirku  masih  ada  waktu  yang  tersisa  untuk terus berusaha.

Saya menuju  parkir,  dengan  sepeda  motor saya meluncur ke Bantayan dengan ditemani oleh Mirna. Panas mentari tidak bisa menghalangiku. Debu jalanan bukanlah hambatan untuk melaksanakan tugas mulia ini. Jalan yang bergelombang memberi irama tersendiri dalam perjalanan ini. Saya sangat menikmatinya walaupun terkadang sedikit ada rasa jengkel. Perjalanan yang cukup melelahkan. Semaoga lelahku menjadi lillah hari ini.

Di perjalanan, saya berjumpa dengan tukang ikan keliling langgananku. Dia menyap saya.

“Mau ke mana, Bu? Kelihatan sangat buru-buru,” tanyanya pada saya.

“Saya mau ke rumah Je, anak almarhum Bang Lan,” saya menyahut.

“Ooo, rumahnya depan lagi, sudah dekat, rumahnya di samping menasah Bu,” jawab salah satu ibu yang lagi membeli ikan.

“Tidak beli ikan hari ini, Bu, ikannya masih bagus.” Saya minta maaf saya buru-buru dan tidak membeli ikan hari ini. Tidak lupa saya ucapkan rasa terima kasihku padanya.

Saya lanjutkan perjalanan sambil berharap urusan ini segera selesai.  Hampir  dua  puluh  menit  waktu  yang  saya tempuh.S aya berhenti pas di depan meunasah. Mirna turun dan langsung menuju ke rumah Je. Layaknya bertamu saya pun memberi salam. Muncul sosok perempuan dengan dandanan modis bak seorang putri. Saya langsung memberitahukan maksud kedatangan saya. Saya bertanya di mana Je saya ingin menemuinya. Ternyata dia ada di kamar dan tidak mau ditemui. Saya meminta kakaknya untuk bisa menyerahkan buku bank supaya dapat diproses untuk mendapat bantuan. Kakaknya angkat tangan, dia tidak tahu apa-apa, dengan  enteng  dia  meminta  Mirna  untuk  memanggil  maknya  di rumah  tetangga.  Emosiku  mulai  naik  saat  itu,  tetapi  aku  tetap menahannya,  dalam  hatiku  berkata,  “Jangan  sampai  pahala  saya hilang hari ini.” Si kakak berlalu pergi, mau ke kondangan katanya.

Dengan sabar saya menunggu ibu Je. Saya duduk di luar, di bangku panjang yang ada di depan rumahnya yang sederhana itu.

“Ada  apa,  Bu?”  tanya  mak  Je  ketika  sudah  ada  di depanku.

“Anak  Ibu,  Je  mendapat  bantuan  yatim,  jadi  saya kemari untuk mengambil buku banknya,” jelasku padanya.

“Baik, Ibu tunggu sebentar, saya ambilkan.” Lagi-lagi saya harus menunggu.

“Ini bukunya, Bu,” dia menyerahkan buku bank kepada saya.

Sebagai walas saya pun ingin tahu keadaan siswa saya dan kenapa mereka malas ke sekolah. Hal yang sama saya tanyakan juga pada ibu Je.

“Kenapa anak Ibu jarang sekolah? Kan capek harus menjemput buku rekening bank ke rumah.” Mungkin karena lebihnya bahasa yang saya gunakan kurang tepat, sehingga ibu Je menjawab dengan kasar.

“Inikan tugas Ibu. Gaji guru kan banyak, jangan hanya duduk saja di kantor. Kalau anak saya Je malas sekolah, Ibu tanyakan sama dia, itukan tugas Ibu.”

Masih banyak kata-kata kasar lainnya yang membuat siapa saja mendengar jadi malu dan kata-kata tersebut tidak layak keluar dari mulut seorang ibu. Intinya saya yang disalahkan.

Aku langsung  minta izin,  aku tidak ingin  terpancing  dengan kata-kata kasarnya. Bukannya terima kasih yang kuterima, malah kata-kata  kasar  yang  saya dapatkan. Aku  diam  tidak  meladeni, karena menjaga wibawaku sebagai seorang pendidik dan harus bisa membaca situasi.

Dengan perasaan sedikit kecewa, aku bersama Mirna kembali kesekolah. Mirna merasa malu dengan sikap ibu Je yang marah dan menyalahkanku. Aku menjelaskan padanya bahwa hal itu biasa dan inilah yang namanya perjuangan.

Home visit hari ini memberi kesan yang mendalam dalam perjalananku menjadi wali kelas.

Masih banyak masalah yang harus ku selesaikan dengan orang tua Je. Semua masalah yang berkaitan dengan Je aku serahkan kepada Wakasis.  Ternyata  Wakasis juga kerepotan menghadapi orang tua Je yang tidak mau mendengar penjelasannya, dan ingin menang sendiri.

Akhirnya Je naik kelas dengan bersyarat. Di bawah pembinaan Wakasis segala kegiatannya dipantau. Di kelas VIII pun tidak ada perubahan, masih banyak masalah ditimbulkannya, terutama seringnya ia absen di kelas. Dari temannya, pihak sekolah mendapatkan informasi bahwa Je tidak sekolah lagi.

Sebagai seseorang yang pernah menjadi wali kelasnya, tentunya aku khawatir akan nasibnya. Aku hanya dapat berdoa, semoga Je menjadi pribadi yang baik, menjadi orang  sukses dan menjadi penghuni surganya Allah. Amiin ya Rabal Alamin.

Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul “Secuil Kisah Semesta Cinta” pada tahun 2022 lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *