Kecil Bermakna Besar

Dalam hidup, manusia yang memiliki agama akan selalu di tuntut untuk taat terhadap ajaran agamanya. Tuntutan ini tak lain adalah sebagai bentuk rasa Taqwa kita sebagai manusia. Abdul Halim Kuning (2018) dalam penelitiannya menjelaskan Takwa pada dasarnya merujuk pada sebuah sikap yang terdiri dari cinta dan takut, yang lebih jelas lagi adalah adanya kesadaran terhadap segala sesuatu atas dirinya dan bahkan merasa hatinya  yang  paling  dalam  senantiasa  diketahui  oleh  Allah  SWT. Sehingga ia senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. takwa adalah sikap mental yang positif terhadapnya berupa  waspada dan mawas diri sedemikian  rupa  sehingga  dapat melaksanakan segenap perintahnya dan menjauhi segala larangannya, sebanyak 232 kata takwa dalam Al-Quran dengan berbagai macam bentuknya.

Abdul Nasir dalam kajiannya menerangkan bahwa taqwa sendiri memiliki dua dimensi hubungan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Allah dan hubungan horizontal antara manusia dengan makhluk lainnya. Taqwa yang baik dan benar yakni taqwa yang mengandung adanya keseimbangan hubungan antara Kholiq dan makhluk atau yang disebut habblumminallah dan antara Makhluk dengan Makhluk habblumminannas.

Pada tulisan kali ini penulis cenderung membahas tentang hubungan antara makhluk dengan makhluk atau biasa dikenal dengan habblumminannas. Pemilihan ini berdasarkan seringnya penulis melihat konflik yang terjadi antar manusia. Konflik tersebut terkadang berdasarkan adanya rasa tidak menghargai satu sama lainnya.

Hal yang mendasari/melandasi seorang harus menghargai orang lain adalah kesadaran sosial. Kesadaran sosial artinya bahwa setiap manusia harus benar-benar mengerti dan sadar bahwa setiap orang pasti saling membutuhkan dan saling melengkapi. Hendaknya setiap orang benar-benar menyadari hal ini. Setiap orang tidak mungkin bisa hidup sendiri. Dari mulai lahir ke dunia ini, dari sejak itu juga seseorang membutuhkan orang lain yaitu orangtua dan lainnya. Oleh sebab itu, manusia sungguh saling membutuhkan untuk kebahagiaan dan kesempurnaan. Kebahagiaan dan kesempurnaan tidak akan lengkap tanpa kehadiran orang lain dalan kehidupan. Ruman dkk (2013:11) mengatakan: “Manusia bukan hanya individu, melainkan pada saat yang sama manusia juga adalah sosial. Bahkan sosialitas manusia menjadi juga hakekat dasar manusia.

Dari hal di atas kita dapat belajar bahwa untuk menciptakan hubungan yang baik antar manusia tentunya dibutuhkan sikap saling menghargai. Sikap ini seringkali kita abaikan karena status pekerjaan, status kemapanan, status sosial dan lain sebagainya. Banyak hal yang dapat dibahas mengenai sikap saling menghargai, tapi alangkah baiknya kita belajar dari hal-hal kecil terlebih dahulu. Kenapa? Karena hal-hal kecil ini seringkali kita lakukan tanpa kita sadari kesalahannya. Kesalahan kecil jika sudah sering dilakukan maka akan berefek besar terhadap hubungan antar umat manusia. Rasa kecewa mungkin menjadi salah satu efeknya.

Seperti seorang atasan kecewa dengan sikap bawahan yang tak pernah bekerja sepenuh hati, bahkan terkadang mengabaikan perintah atasannya. Namun begitu juga sebaliknya bawahan kecewa pada atasan seperti upah yang tidak layak dibayar, tidak adanya penghargaan dari atasan saat bawahan berprestasi dan lain sebagainya. Jika kita mau menelusuri lebih dalam, banyak hal yang dapat kita perbaiki agar hal-hal tersebut tidak terjadi.

Contoh kecil adalah saat seseorang teman, kolega, saudara, yang mengirimkan kita pesan teks baik itu SMS atau Whatsapp usahakanlah untuk menanggapinya. Jangan biarkan pesan itu larut begitu saja tanpa adanya tanggapan sementara pengirim pesan membutuhkan tanggapan kita. Seperti saat seorang bawahan meminta izin kepada pimpinan untuk tidak masuk kerja karena alasan sakit, izin atau hal lainnya. Jangan biarkan pesan itu tak bertuan. Jika memang tak di izinkan balaslah pesan tersebut dengan bijaksana sehingga pengirim merasa dihargai. Karena pada dasarnya pengirim sudah menghargai atasannya dengan terlebih dahulu meminta izin. Bisa saja pengirim mengabaikan atasannya sebagaimana atasan mengabaikan pesan singkat bawahannya.

Begitu juga sebaliknya sebagai bawahan kita juga harus menghargai atasan, saat atasan memerlukan tanggapan mengenai suatu hal/kegiatan, tanggapilah pesan tersebut. Agar ketika suatu hal telah di putuskan tak ada lagi menyalahkan atasan mengenai keputusan yang telah di ambil. Tentunya banyak hal lain yang membuat atasan kecewa baik hal kecil maupun hal besar, namun sebagai pemimpin biasanya atasan memilih untuk bersabar menghadapi sikap bawahannya.

Jika banyak hal yang tak di hargai maka rasa kecewa akan muncul dalam diri kita yang tentunya akan berefek besar seperti tak ada lagi sikap respect terhadap sesama, tak ada lagi sikap ingin membangun bahkan tak ada lagi kepedulian terhadap lingkungan sekitar.

Ingatlah, hari ini bisa saja kita berada pada posisi sebagai bawahan, namun suatu saat bukan tak mungkin kita menjadi atasan. Jika hari ini kita belajar saling menghargai, penulis yakin saat kita telah berada di atas otomatis kita paham kondisi di bawah. Untuk itu mari kita budayakan sikap saling menghargai. Jangan biarkan ego kita membuat hubungan kita dengan manusia menjadi tidak baik dan kita bangun sikap saling menghargai tanpa memandang status sosial seseorang.

Hal itu telah Allah tuangkan dalam Surat Al-Hujurat ayat 10 yang artinya:

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”

Namun perlu diingat bahwa menghargai orang lain tidak boleh diskriminatif. Menurut Boediono (n.d.), kata diskriminatif berasal dari kata diskriminasi yang artinya adalah perbedaan perlakuan terhadap sesama warga negara, perbedaan warna kulit. Sedangkan Yosafat (2010) mengatakan bahwa diskriminasi biasanya mengacu pada tindakan membedakan seseorang dari yang lain bukan berdasarkan keunggulan yang dimiliki namun berdasarkan prasangka atau berdasarkan sikap-sikap yang secara moral tercela. Jadi menghargai orang lain harus tulus, jujur, dan sungguh-sungguh tanpa bersikap dikriminasi.

Merujuk pada pernyataan di atas, tentunya seorang pendidik tak boleh lagi membedakan siswanya, seorang kepala tak boleh membedakan bawahannya. Walaupun pada kenyataannya hal tersebut sangat sulit dilakukan apalagi menyangkut perlakuan terhadap saudara sendiri atau teman dekat, bawahan kesayangan (anak emas) tentunya berbeda dengan yang bukan siapa-siapa. Hal itu jelas akan memicu konflik dikalangan siswa maupun guru. Jika memang tak bisa bersikap adil, ada baiknya kita meninggalkan peran sebagai guru atau kepala sekalipun. Namun sebagai seorang yang terdidik tentunya kita memiliki waktu untuk terus belajar untuk tak bersikap demikian. Mari sebagai pendidik kita bercermin bagaimana cara yang tepat bersikap pada siswa, pada atasan, pada bawahan maupun pada masyarakat sekitar.

Lagi-lagi tulisan ini bukan bersifat menggurui, hanya saja sebagai pengingat untuk penulis sendiri. Semakin banyak pembacanya maka akan semakin banyak yang mengingatkan penulis saat penulis melakukan kesalahan. Ketahuilah saat seseorang merasa dihargai dan tak diperlakukan diskriminatif, maka ia akan cenderung bersikap produktif dalam pekerjaan, mengeluarkan seluruh kemampuannya, aktif dalam berbagai kegiatan, dan peduli terhadap lingkungannya. Namun saat ia tak dihargai dan diperlakukan diskriminatif maka yang akan terjadi adalah sebaliknya. Untuk itu mari kita ciptakan sikap saling menghargai dan tak bersikap diskriminatif terhadap sesama. Sikap tersebut dapat kita mulai dari hal-hal kecil namun bermakna besar seperti contoh kasus di atas. Hal lain yang dapat kita pelajari adalah saat butuh pertolongan mari memulainya dengan kata “tolong”. Saat melakukan kesalahan memulainya dengan kata “maaf” dan terakhir saat telah dibantu memulainya dengan kata “terima kasih”.

Referensi:
Boediono. (n.d.). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Bintang Indonesia.
https://undar.ac.id/2020/05/19/taqwa-keseimbangan-hablun-minalloh-dan-hablun-minannas/
Kuning, A. H., (2018). Taqwa Dalam Islam. Jurnal Istiqra Vol. 6 No. 1.
Panjaitan, Hondi., (2014). Pentingnya menghargai orang lain. Jurnal Humaniora Vol. 5 No.1; 88-96
Ruman, Y. S., Gea, A. A., & Irawan, I. (2013). Diktat Materi Mata Kuliah Interpersonal Development. Jakarta: Universitas Bina Nusantara.
Yosafat, B. (2010). Integritas Pemimpin Pastoral. Yogyakarta: ANDI

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *