Gagal Fokus
Dalam mendukung terciptanya budaya literasi yang baik dalam madrasah, seorang kepala di tuntut untuk memberikan contoh yang baik. Jujur saja, untuk menuliskan pengalaman itu lebih sulit dibanding menceritakan ulang via lisan. Tapi saya tetap berusaha walaupun dengan segala keterbatasan. Saya hanya mencoba berbagi pengalaman saat menjadi wali kelas di MTsN Simpang Ulim kini bernama MTsN 1 Aceh Timur. Pengalaman tersebut tepatnya pada tahun 1997. Sudah sangat lama bukan? Tapi keberadaan siswa-siswi di bawah binaan selama saya menjadi wali kelas terekam dan tersimpan dalam kenangan yang indah.
Ada banyak cerita tentang siswa, mulai dari keluarga, keseharian dan hobinya yang terkadang tak pernah kita pahami sehingga menjadi teka-teki yang selama ini tersimpan rapi. Dengan menjadi wali kelas, semua menjadi jelas, siapa sebenarnya mereka dan bagaimana keadaan keluarga mereka. Sehingga wali kelas dan siswanya bisa berkembang dan berjalan bersama untuk mewujudkan cita-cita yang mulia.
Menjadi wali kelas berarti bertambah pula tugas dan kewajiban saya. Karakter mereka harus bisa saya pahami satu persatu, disamping harus mengajar, mendidik, membimbing dan juga melakukan pembinaan menjadi tugas rutin hampir setiap hari. Di tambah lagi dengan segudang administrasi yang sesegera mungkin harus terselesaikan.
Keluhan dan laporan dari guru tidak pernah absen saya terima. Ada saja tingkah laku, tindakan dan ucapan yang melanggar peraturan madrasah. Mulai daro tidur dikelas, cabut sekolah, lompat pagar dan masih banyak laporan lainnya yang harus saya tangani segera. Terkadang saya heran kenapa harus orang-orang itu saja yang bermasalah. Ada apa dengan mereka sebenarnya?
Perlahan pendekatan mulai saya lakukan. Saya ajak mereka bicara empat mata dari hati ke hati, dengan tujuan agar mereka dapat mengungkapkan semua keluh kesah yang mereka alami tanpa di ketahui teman sekitar. Saya mulai telusuri latar belakang keluarga mereka. Ternyata banyak dari mereka adalah keluarga broken home dan dari keluarga yang masuk kategori sangat miskin yang terkadang harus menghidupi dirinya sendiri. Wajar saja jika mereka butuh perhatian lebih dari saya, apalagi peran saya sebagai orang tua keduanya. Perhatian yang tidak mereka dapatkan dari keluarga kini mereka dambakan dari orang tua keduanya. Sekilas tampak kecerian saat mereka sedang bergaul bersama temannya, padahal hati dan batin mereka tersiksa, perih dan diam, tidak tahu harus berbuat apa dan harus bercerita kepada siapa tentang kesedihan mereka.
Pelanggaran yang mereka lakukan sebagai bentuk aksi protes atas keadaan yang belum bisa mereka terima. Belum lagi tekanan dari guru yang hampir setiap hari menyalahkan mereka. Tanpa guru sadari sebenarnya mereka butuh perhatian, butuh rangkulan dan butuh sedikit kasih sayang dari kita. Melihat kondisi tersebut tentunya seorang guru apalagi wali kelas membutuhkan kerja keras agar dapat membantu mereka mencapai cita-citanya.
Saat pertama kali saya bergelut dengan pengisian rapor. Saya harus menunggu semua nilai terkumpul, kemudian melanjutkan dengan pengisian rapor. Waktu itu belum ada pengisian rapor digital, masih manual dengan menggunakan tulisan tangan. Kalkulator menjadi alat bantu hitung untuk pencarian nilai.
Melihat nilai sebahagian siswa saya yang melampaui KKM ada rasa senang dan bahagia. Tapi giliran menulis nilai bagi yang “bermasalah” kenapa tangan ini terasa berat? Ada kesedihan dan perasaan bersalah ketika tangan ini menulis angka di rapor mereka. Terbayang wajah diam, menyesal dan tertunduk ketika saya panggil mereka untuk dinasehati, atau wajah sedih mereka ketika orang tuanya saya panggil sebagai bentuk pemberitahuan tentang perkembangan sikap mereka. Nilai harus tetap saya isikan apapun hasil yang mereka peroleh.
Pembagian rapor untuk semester genap pun tiba. Saat yang menentukan siapa yang naik dan tinggal kelas. Rapor diambil oleh siswa sendiri. Di kelas siswa menunggu dengan tidak sabar. Tentu mereka ingin tahu hasil yang mereka capai selama setahun terakhir.
Perhatian hari ini entah kenapa tertuju pada Muzakir, siswa yang tinggal bersama ibu dan seorang kakak perempuan di Arakundo, dusun Alue lipah. Menjadi yatim sejak kelas enam SD. Sang ayah meninggal karena sakit yang dideritanya. Menjalani kehidupan yang sangat sederhana. Sering absen ke sekolah karena tidak ada biaya, begitu katanya dan hal itu dibenarkan oleh sang ibu. Untuk mencapai madrasah Muzakir harus menyebrangi sungai arakundo dengan sampan kecil milik masyarrakat setempat. Butuh waktu seperempat jam berjalan kaki untuk tiba di jalan raya. Untuk memenuhi kebutuhannya dan meringankan beban orang tua dia harus banting tulang bekerja sebagai tukang angkat pasir. Dikelas dia bukan siswa bermasalah, dia santun dan sedikit pendiam.
Perhatian saya selanjutnya fokus pada Munawar dan Nasir. Dua siswa yang selalu saja membuat saya harus kerja extra. Hampir tiap hari saya mengecek kehadiran mereka. Kesalahan apa yang mereka lakukan hari ini, selalu saya pantau. Alhamdulillah tidak ada anak didikan saya yang tinggal kelas tahun ini. Memang nilai mereka berdua untuk beberapa pelajaran mendapat nilai merah (dibawah nilai KKM). Tapi telah memenuhi syarat untuk dinaikkan kelas.
Satu persatu nama mereka saya panggil untuk mengambil rapor. Terlihat jelas rasa puas di wajah polos mereka. Selanjutnya mereka akan menjadi siswa kelas tiga dengan wali kelas yang berbeda. Akhir kata saya sampaikan ucapan selamat, semoga kalian menjadi lebih baik dengan bapak/ibu wali kelas yang baru.
Saya istirahat sejenak di kantor dengan ditemani secangkir kopi dan dua potong kue donat. Saat beranjak menuju pakiran. Terdengar suara seseorang memanggil nama saya. Suara itu semakin dekat dan saya berbalik melihat siapa gerangan yang memanggil saya.
“Pak, pak pon, tunggu sebentar.” Pinta Anwar yang juga siswa binaan saya.
“Ya Anwar, apa ada yang penting yang ingin kamu sampaikan?” tanyaku pada Anwar.
“Muzakir tinggal kelas ya pak.” Tanyanya padaku.
“Kelas 2D naik kelas semua, tidak ada yang tinggal kelas, kan sudah bapak kasih tau tadi. Memangnya kenapa Anwar?” tanyaku balik dengan penasaran.
Lalu Anwar menceritakan bahwa tadi setelah menerima rapor, dia melihat Muzakir merobek rapor dan membuangnya di jalan. Kebetulan dia melihat dan mengambil rapor tersebut dan menyerahkannya padaku. Kelihatannya Muzakir sangat sedih, tidak mau diajak bicara, langsung pulang ke rumah, Jelas Anwar.
Ada apa dengan Muzakir, apa ada yang salah dengan rapornya. Saya mulai menyatukan sobekan rapor dan mulai mencari dimana kesalahan rapor yang saya isi sendiri. Tidak ada yang salah. Tulisan paling bawah tertulis “naik kelas/tinggal kelas” jelas saya coret pada bagian di tinggal kelas, yang berarti seharusnya Muzakir naik kelas. Kejadian tadi sempat mengganggu pikiran saya. Ah sudah, besok akan saya selesaikan.
Esok harinya saat jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit. Saya mengunjungi rumah Muzakir di Arakundo. Tidak sulit bagi saya menemukan rumahnya karena saya sudah pernah kesana. Motor saya parkirkan di depan rumahnya dibawah pohon jambu. Seorang ibu separuh baya mendekati saya dan tersenyum. Ternyata Ia masih mengenal saya.
“Sebentar pak, saya panggilkan Muzakir.” Aku dipersilahkan masuk dan menunggu di dalam.
Rumah yang sangat sederhana tanpa perabotan yang lengkap. Tidak ada kursi tamu, tidak ada lemari hias, tidak ada gambar kaligrafi atau hiasan dinding lainnya. Saya menunduk menjaga pandangan dari suatu keadaan yang tidak perlu di tuliskan. Perjuangan, beban dan tanggung jawab untuk bisa membantu ibu dan memenuhi kebutuhan hidup kini ada di pundak Muzakir. Hal yang belum pantas ia rasakan di usia yang masih sangat muda ini. Di saat anak lain bermain dan bergembira dia harus bekerja. Dalam hati saya berkata “Bersabarlah nak dan terus berjuang demi masa depan yang cerah akan menantimu”.
“Mana rapor kamu Muzakir, bapak mau melihatnya.”saya mulai bertanya ketika Muzakir dan ibunya telah duduk di hadapan saya.
“Sudah saya robek dan saya buang pak, saya tidak naik kelas. Saya tidak butuh rapor lagi karena saya tidak akan sekolah lagi.” saya mendengar kata-kata kekecewaan yang teramat besar keluar dari mulut seorang anak yang terkenal pendiam. Ada keputusasaan yang bisa terbaca dari nada bicaranya.
“Siapa bilang kamu tidak naik kelas, kamu gagal focus nak, coba kamu lihat kembali rapor ini.” saya menunjukkan rapornya yang sengaja aku bawa.
“Maksud bapak saya naik kelas? Tapi kenapa di rapor tertulis saya tinggal kelas pak? Tanyanya padaku seakan tak percaya dengan yang aku sampaikan.
“Tidak Muzakir, kamu naik kelas, Kamu tidak membacanya secara utuh. Coba perhatikan ini, bagian yang bapak coret adalah bagian tinggal kelas, itu artinya kamu naik kelas”
“Ya pak, saya hanya melihat kata tinggal kelas tercoret, saya pikir saya tinggal kelas, makanya saya marah dan merobeknya.”
Masuk akal juga karena pikirannya hanya fokus pada kata yang tercoret dengan tinta hitam. Saya hanya bisa tersenyum mendengar penjelasannya yang gagal fokus, yang hampir saja membuatnya putus sekolah.
Setelah saya berbicara panjang lebar dan meminta Muzakir untuk tetap sekolah dan berjanji akan memperbaiki rapornya. Ada kebahagiaan yang tidak terlukiskan saat saya melihat tetesan embun yang mengalir dari mata sendu Muzakir. Seakan semangat dan harapan muncul kembali bersinar sepanas sinar mentari pada hari ini.
Kini Muzakir telah sukses. Memiliki keluarga dan penghasilan yang mapan. Kata terima kasih selalu terucap dari bibirnya ketika kami berjumpa. Dia tidak pernah melupakan saya sebagai gurunya.
Allah telah menggariskan takdir yang terbaik. Mungkin awalnya kita tidak pernah tahu karena tugas kita berdoa dan berusaha. Kesuksesan bukan lah milik mereka anak orang kaya saja yang serba berkecukupan, tapi juga dapat dimiliki oleh mereka yang berjuang dengan tetesan keringat dan air mata.
Sesungguhnya apapun yang terjadi atas diri kita dalam kehidupan ini adalah atas kehendak Allah SWT.
Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul “Secuil Kisah Semesta Cinta” pada tahun 2022