Sandal Jepit

Dua hari sudah sandal jepit berwarna biru menemaniku di tanah suci kota Madinah. Sandal jepit yang kubawa dari kampung halaman. Sebagai salah satu perlengkapan kecil untuk melaksanakan ibadah umrah. Sandal jepit yang setia menemani langkahku dari hotel menuju mesjid  Nabawi untuk melaksanakan shalat berjamaah setiap waktu.

Hotel tempat kami tinggal tidak jauh dari masjid Nabawi.  Suami, aku dan dua putriku selalu datang lebih awal untuk bisa salat berjamaah di dalam mesjid. Sandal jepit kami titipkan di loker penyimpanan. Jamaah berlomba-lomba mencari tempat dan shaf di dalam mesjid. Dalam sekejap mesjid sudah penuh dengan jamaah yang datang dari berbagai negara. Bahkan ada yang tidak pulang ke hotel menunggu waktu shalat berikutnya.

Kami berempat menempati kamar hotel di tingkat 12, dengan fasilitas  lumayan mewah. Takut ketinggian, ya sangat takut. Terkadang di lift kami harus berdesakan dengan jemaah dari negara lain. terkadang juga kami harus mengalah dengan jamaah yang postur tubuh yang lebih besar. Tidak mau menerobos dan berdesakan untuk menjaga wudhu. Kami hanya saling tersenyum tanpa bicara.

Setelah shalat Asar, sebagaimana maklumat dari ketua rombongan, kami berkumpul pada titik yang telah di tentukan untuk  berkunjung ke Mesium Al – Quran yang terletak di sisi selatan Masjid Nabawi. Terbuka untuk umum. Tanpa di pungut biaya, gratis. Karena ramainya pengunjung, kami harus sabar mengantri. Setiap waktu shalat, mesium ditutup.

Waktupun berlalu tanpa terasa. Hampir tiba waktu maghrib. Sesaat kemudian terdengar suara azan menggema yang menyejukkan hati bagi siapa saja yang mendengarnya. Suara yang menyeru kita untuk memperoleh kemenangan. Bergegas kami menuju tempat wudhu yang juga sangat ramai.

Tidak mungkin lagi bagi kami menerobos masuk ke dalam mesjid. Kami sudah terlambat dan masbuk satu rakaat. Kami  mencari shaf yang masih kosong  dan bergabung di luar di halaman mesjid. Sandal jepit yang  kami  pakai dimasukkan ke tas plastik  dan diletakkan di samping kanan masing-masing.

Setelah rangkaian doa kami selesaikan. Jamaah pun sudah banyak yang bubar. Aku dan dua putriku sepakat untuk pindah ke dalam mesjid, tidak balik ke hotel tapi menunggu waktu shalat Isya. Saat berbalik mencari sandal jepit, ternyata sudah ghaib, hilang. Sebelumnya aku sempat terpikir “ hilang nggak ya?” rupanya beneran hilang.  Dan akupun melihat shaf di belakangku sudah kosong.  Aku hanya tersenyum pada kedua putriku.

“Lho kok bisa hilang sandal  mimi ya. padahal ini kan mesjid” celutuk putri pertamaku.

“Sudah jangan diributkan, yang sudah hilang bukan rezeki kita lagi” jawabku.

“Mungkin ada jamaah yang sangat membutuhkan sandal itu, niatkan saja sedekah. Atau ada niat kita yang kurang ikhlas.” Jelasku lebih lanjut.

Mungkin ini cara Allah menegurku atas kekhilafan niat yang tersirat di hati kecilku, berprasangka negatif  hingga harus rela kehilangan sandal jepit.  Astarfirullah terucap dari lisanku memohon ampunan. Ku gandeng kedua tangan putriku melangkah memasuki mesjid Nabawi.

Sandal jepit  yang hilang bisa aku beli dan kuganti yang baru. Banyak di jual di toko sepanjang jalan menuju hotel. Keampunan atas segala dosa dan kekhilafan yang harus kucari sekarang. Jalan keampunan sudah terbuka di hadapanku. Haruskan aku lewatkan? Ini tempat yang suci, tempat mustajabah doa, perbanyak istiqfar, selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad dan bersyukur atas nikmat yang tidak terhingga.

Malam ini aku pulang dengan kaki telanjang. Kaki ini bisa bersentuhan langsung dengan lantai halaman mesjid dan merasakan debu jalanan yangmenempel dikakiku. Di depan hotel aku baru membeli sandal jepit baru dengan harga Rp 35 000; Alhamdulillah untuk pengajaranyang berharga  hari ini.

Setiap kejadian di Tanah Suci sebenarnya kita dilatih, jangan punya hati yang kotor, jaga ucapan dan perbuatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *