Secarik Kertas Putih

Bagiku, ada 2 waktu yang sangat krusial. Waktu menjelang tidur, yang biasa ku gunakan untuk melakukan refleksi dari aktivitas harian dan waktu bangun tidur, yang biasa ku gunakan untuk men- setting aktivitas yang akan ku lakukan hari ini.

Pada suatu ketika menjelang waktu tidur, seperti biasa, aku melakukan refleksi dari aktivitas harian. Hari itu tidak seperti biasanya, aku terus terbayang dan memikirkan secarik kertas putih yang diberikan oleh salah satu peserta didikku. Secarik kertas putih itu membuat aku penasaran. Mengapa peserta didik itu memberikannya kepadaku? Mengapa dia berani memberikannya kepadaku? Malam itu, aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bingung, gelisah, penasaran, dan pikiranku terus berspekulasi mencoba menafsirkan makna dari secarik kertas putih itu.

Saat bangun tidur, seperti biasa, aku mulai men-setting aktivitas yang akan ku lakukan. Mencari makna dari secarik kertas putih itu adalah daftar kegiatan prioritas  yang  akan  ku  lakukan  hari  itu.

Sehingga pada saat jam kosong, aku memanggil siswa tersebut dan

kuajak berdiskusi di suatu ruangan yang hanya ada aku dan siswa tersebut.

Sebelum   melakukan   dialog   dan   diskusi,   aku   menanyakan

kabarnya terlebih dahulu. “Gimana kabarnya hari ini, Nak?” tanyaku.

Dia menjawab, “Alhamdulillah baik, Pak.”

Sekilas, ketika melihat penampilan fisik dan kepribadian peserta didik ini, menurutku, dia baik-baik saja dan tidak ada permasalahan berarti yang menimpa dirinya. Anaknya pintar, ceria, sopan, dan ramah terhadap guru.

Aku takingin langsung ke point permasalahan seperti yang dituliskan di secarik kertas putih itu. Aku menanyakan, bagaimana kondisi keluarganya di rumah? Bagaimana dia mengisi waktu setelah selesai sekolah? Bagaimana perasaanya ketika di rumah? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang ku ajukan untuk mengetahui latar belakang, karakter, dan aktivitas peserta didikku ini.

Banyak sekali yang diceritakan, waktu 2 jam tidak cukup untuk kami berdialog, padahal itu masih pendahuluan. Kurangnya perhatian dan kontrol dari kedua orang tua, perasaan tidak bahagia di rumah, dan banyaknya waktu luang di rumah merupakan inti dari permasalahannya. Ketiga inti dari permasalah ini berkolaborasi, sehingga memicu siswa ini melakukan hal negatif sebagai bentuk pelampiasan dari apa yang dihadapinya.

Pada suatu ketika, dia sudah tidak sanggup dan perasaan tidak bahagia di rumah memuncak. Dia memutuskan untuk pergi dari rumah dan sudah tidak memikirkan untuk sekolah. Ketika dia tiba di suatu kota, dia bertemu dengan seorang ibu yang berusia 50 tahunan dan menawarkan pertolongan agar dia tinggal di rumahnya saja dan dibantu untuk mencari pekerjaan. Karena ibu tersebut melihat anak ini seperti tidak tahu mau ke mana dan terlihat kesusahan, sehingga ibu ini tidak tega dan berusaha membantunya. Alhamdulillah, ketika tinggal di rumah ibu tersebut, ia tidak pernah tinggal salat, selalu shalat berjemaah di masjid terdekat dan tidak pernah terpikirkan untuk melakukan hal negatif seperti yang biasa dia lakukan di rumahnya.

Setelah 7 hari dan merasa nyaman tinggal di rumah ibu itu, dia memutuskan untuk menceritakan hal sebenarnya terjadi pada dirinya. Sehingga ibu itu membantu membawa dia ke psikolog. Setelah itu, menghubungi orang tuanya untuk menjemputnya untuk kembali pulang ke rumah.

Setelah di rumah, dia kembali merasa kesepian, sehingga hasrat ingin melakukan hal negatif muncul kembali. Dia tidak mampu membendung hal itu, karena itu merupakan caranya merasakan sedikit kesenangan walau sesaat. Ketika di rumah, orang tuanya tidak pernah mengajak dia makan, menanyakan sudah belajar apa hari ini di sekolah, atau mengobrol santai dan sekadar bercanda bersama. Hal itu membuatnya semakin kehilangan arah dan tidak tahu ingin berdialog dengan siapa. Takingin hal ini berlarut, oleh karena itu, dia memberanikan diri untuk memberikan secarik kertas putih itu kepadaku.

Setelah memahami kondisi dan latar belakang peserta didik ini, langsung kuajak berdialog ke inti permasalahan. Sejujurnya, dia merasa malu untuk berdialog denganku. Karena hal ini merupakan aib yang seharusnya hanya dirinya dan Tuhan saja yang tahu. Dia meyakini ketika berdialog denganku akan membantunya menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapinya. Aku pun mendengarkan dengan seksama dan menuliskan kata kunci dari setiap aktivitasnya. Hal ini ku lakukan untuk memudahkanku membantu mengarahkan peserta didikku ini untuk menemukan sendiri solusi dari permasalahan yang dihadapinya.

Setelah memahami tujuan dan mengidentifikasi permasalahan, sampai di akhir sesi, aku mengajaknya untuk menarik kesimpulan dan membuat rencana aksi dari apa yang sudah kita diskusikan serta membuat komitmen, agar peserta didikku ini bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dia sampaikan.

“Menurut kamu, apa yang harus kamu lakukan agar tidak terpikirkan melakukan hal negatif lagi ketika di rumah?” tanyaku.

Dia pun menjawab, “Mengisi waktu luang dengan berolahraga dan melakukan aktivitas keagamaan seperti : sholat berjamaah di mesjid , mengaji, dan melakukan aktivitas untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.”

Selain itu ,dia juga senang mendengarkan ceramah-ceramah dari Ustaz Abdul Somad, Ustadz Adi Hidayat, dan lain-lain. Hal ini yang selalu men-charge keimananya agar senantiasa melakukan hal- hal yang baik ketika sedang di rumah maupun di luar rumah.

Tiga hari setelah kami berdialog, ku hampiri peserta didikku ini dan menanyakan  bagaimana  perasaannya  sekarang,  tanyaku.  Dia menjawab, “Alhamduillah, menjadi lebih tenang, Pak. Sekarang lagi ngikutin berita tentang Ukraina vs Rusia.”

“Wah, keren bacaan dan tontonan kamu.”

Aku pun merasa bahagia melihat perubahan dari peserta didikku ini. Berkat, secarik kertas putih dapat mengubah perilaku, paradigm, dan karakter peserta didikku ini. Terima kasih, secarik kertas putih, kau telah membuatku banyak belajar bahwa sesuatu yang terlihat dari luar belum tentu cerminan dari dalam diri. Waktu luang adalah salah satu musuh terbesar manusia dan masih banyak pembelajaran lain yang bisa kuambil dari pengalaman ini. Secarik kertas putih, kutunggu kau dari peserta didik yang lain, ya! See you next time!

Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul “Secuil Kisah Semesta Cinta” pada tahun 2022 lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *