Tercabiknya Hati Ini

Hari ini aku melihat bus yang membawa pulang jamaah haji dari Aceh. Seketika aku ingin  berada kembali di tanah haram untuk mengerjakan ibadah haji ataupun umrah, hati ini bergetar ada rindu yang membuncah, terasa ada butiran kristal membasahi ketika netra kututup perlahan. Ada doa yang terucap, ya Allah mudahkanlah rezeki halal untuk keluargaku sehingga bisa memenuhi panggilanMu untuk berhaji dan umrah.

Aku ingat ada kisah yang belum aku tuliskan ketika menunaikan ibadah haji di tahun 2022. Entah dimana tersimpan notes yang kubawa waktu itu, mungkinkah terselip di rak buku yang belum sempat aku rapikan, atau sudah terbuang dengan buku-buku yang tidak terpakai lainnya, tapi tidak mungkin aku membuang catatan penuh kenangan. Satu jam berlalu akhirnya aku dapatkan yang aku cari. Di catatan itu tertulis “Mekkah 13 Juli 2022”. Kubuka perlahan lembar per lembar, kubaca dengan seksama ternyata mampu membuka kembali memori perjalanan indah di Madinah dan Makkah. .

Tidak ada tujuan untuk membuka aib ataupun kekurangan hamba Allah apalagi di tanah Makkah yang mulia, sekedar menjadi semangat dan termotivasi.  Sosok mereka menjadi inspirasi dalam kehidupan. Jika mereka bisa kenapa kita tidak ???

Hari itu di Mina tanggal 10 Zulhijjah, hari pertama melempar Jumrah. Setelah mendapat informasi dari pembimbing ibadah para jamaahpun mempersiapkan diri untuk bisa melaksanakan salah satu wajib haji yaitu melempar jumrah.

Bismillah..kaki kananpun mulai melangkah, kugandeng tangan suami dengan erat dan kamipun berbaur mengimbangi langkah-langkah jamaah lainnya. Bersama melantunkan  takbir ” Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar la Ilaha illahu Wallahu Akbar, Allahu Akbar walillahi Hamdi”. Gema suara takbir memecahkan tangis yang tidak terbendung.

Tentu saja tangis kebahagiaan dan kerinduan yang mendalam. Teringat anak, sanak saudara dan keluarga  yang ditinggalkan, merasakan lebaran pertama tanpa kehadiran keluarga, tanpa kue beraneka rasa juga tanpa sirup bermacam warna. Andai mereka ada bersama disini terasa kebahagiaan yang sempurna dan luar biasa. Bersama dengan senyum bahagia melantunkan kalimah Takbir. Alunan takbir terus terdengar mengagungkan Sang Pencipta, menjadi penyemangat untuk terus melangkah dan melangkah tanpa pasrah, inilah perjuangan yang telah nabi Ibrahim lakukan.

Ditengah perjalanan, mataku tertuju pada sosok seorang ibu, beliau bukan dari BTJ 03 Aceh. Umurnya sekitar 60 an tahun, ditemani oleh seorang perempuan yang terlihat lebih muda darinya. Jalannya agak terseok seok, hanya payung hadiah dari hotel beliau jadikan tongkat untuk memudahkan melangkah dan berjalan. Pandanganku beralih kesekujur tubuh ibu itu. Ya Allah.. beliau mengenakan kaos kaki berbeda warna, kaki kanan dengan kaos kaki berwarna putih dan kaki  kiri  berwarna hitam.

Sandal jepit yang beliau pakaipun bukanlah sandal jepit baru, jelas terlihat dari warnanya yang memudar. Beliau ikatkan dengan karet gelang dari satu tali  ke tali satunya lagi, seperti  memakai sepatu ikat tali belakang, sehingga tidak mudah lepas dan nyaman digunakan, tetap saja aku melihat ibu susah dan kepayahan untuk berjalan dan jauh ketinggalan dari rombongan. Beliau berusaha mengejar, menerobos ramainya jamaah lain yang sempurna secara fisik.

Ketika aku berbalik, ibu sudah tidak terlihat lagi, aku lanjutkan perjalanan hari ini. Penampilan ibu yang sangat sederhana mungkin rendah dalam pandangan sebahagian orang, tapi di mata Allah ibu itu adalah orang paling istimewa, belum tentu orang kaya diluar sana mendapat panggilan menunaikan ibadah haji, tapi ibu adalah satu diantara sekian juta umat yang Allah pilihkan menjadi Dhuyufurrahman (Tamu Allah) .

Allah beri tenaga dan kemudahan bagi ibu untuk bisa sampai di tempat pelemparan, terletak di lantai tiga lebih kurang satu jam lebih jarak yang harus ditempuh. Butuh satu jam lebih lagi  untuk kembali mencapai kemah setelah melewati tiga terowongan.  Perjalanan yang melelahkan bukan? Tapi yakinlah tidak ada rasa lelah sedikitpun karena Allah berikan tenaga dan semangat yang luar biasa. Tidak ada yang tidak mungkin ketika Allah berkehendak

Di ujung terowongan kami berjumpa lagi. Aku tersenyum pada ibu dan tentu beliau membalas dengan senyuman bahagia. Sosok ibu hilang perlahan dalam kerumunan jamaah.

Dari apa yang kulihat, pantaskah aku berkeluh kesah tentang jarak tempuh yang terlalu jauh, terlalu ramai berdesakan, udara panas, kaki sakit dan banyak alasan lainnya. Aku memakai baju, sepatu, mukenah dan lainnya serba baru, tapi dimanakah rasa syukurku? Aku masih muda dan sehat, kenapa semangatku kalah dengan semangat ibu tadi. Kenapa nilai ibadahku jauh tertinggal darinya. Kenapa rasa syukurku tidak bisa mengimbangi rasa syukur yang ia miliki? Terima kasih atas semangat dan motivasi yang aku bisa petik dari sosok itu, semoga haji kita menjadi haji yang mabrur, semoga syurga menjadi tempat pertemuan kita selanjutnya. Aamiin.

Hari berikutnya, setelah pelemparan Jumrah Ula, aku dan suami bergeser sedikit menghadap kiblat, terlihat jelas Royal Clock Tower di jantung Mekkah, sambil membaca tahmid, tahlil, takbir, mengadu dan berdoa dengan khusyuk agar diberi kebahagiaan dunia dan akhirat.

Selanjutnya menuju pilar Jumrah Wustha pelaksanaannya seperti melempar Jumrah Ula. Kemudian berjalan sedikit  menuju pilar ketiga tempat pelemparan Jumrah Aqabah. Terlihat lagi pemandangan yang luar biasa, rasa tercabik hati seorang yang beriman. Pemandangan yang mampu meruntuhkan ego dan kesombongan.

Ini kedua kalinya aku melihat suami menangis. Yang pertama ketika ayahanda tercinta meninggal. Dan kini ketika matanya menangkap sosok pemuda cacat berpakaian ihram yang berjalan disisi kanannya. Pemuda itu bukan dari Indonesia. Dengan postur tubuh yang kecil hanya memiliki satu kaki tertatih tatih berusaha mencapai pilar  tempat melempar jumrah berdesakan dengan jamaah lainnya. Tongkat menjadi teman sejatinya. Menemani setiap langkah demi langkah untuk mencapai tumpuan pasti. Setiap langkahnya adalah pahala yang akan Allah hitungkan dengan berlipat. Perlahan namun pasti finish akan tercapai. Untuk sesaat suasana hati kami terbawa dalam kesedihan dan keharuan. Kesempurnaan hanya milik Allah.

Bukankah dari dua pemandangan tersebut patut menjadi pelajaran bagi kami. Dimata Allah kita semua sama, tidak ada si miskin dan si kaya, sempurna atau sebaliknya. Manusia boleh memandang hina, miskin, rendah manusia lainnya tapi bisa jadi merekalah manusia terbaik dan sangat spesial di mata Allah. Disini kita menghambakan diri untuk meraih keridhaan Allah. Kami tidak pantas menjadi ahli syurgaMu ya Allah, dan kamipun tidak kuat menahan siksa api neraka Jahim. Bukalah pintu taubatMu  dan ampunilah dosa-dosa kami. Hanya Engkaulah Maha Pengampun segala dosa hamba.

Jangan pernah menyalahkan ketidaksempurnaan, jadikan sebagai bukti bahwa Allah sayang hambaNya. Dan sepatutnya kita malu dengan mereka. Dengan segala fasilitas dan kemudahan yang Allah berikan kita masih lalai dalam menunaikan rukun Islam yang kelima. Mari kita mulai menabung dan menyisihkan sedikit dari rizki yang Allah titipkan untuk menjadi Dhuyufurrahman. Selagi masih muda,  sehat dan kuat, langkah masih ringan, jangan tunggu tahun depan, tahun depan dan tahun depan berikutnya. Waktu terus bergulir dan umur terus berkurang, selagi ada kesempatan dan kemampuan kejarlah peluang, jangan kita dilalaikan dengan nikmat dunia sesaat.

Bila mereka bisa dan mampu lalu bagaimana dengan kita? Jawabannya ada pada diri masing-masing. Teruslah bersyukur dalam menjalani hidup yang terkadang diwarnai bermacam cobaan karena mengeluh tidak akan mengubah apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *