Perdana Menjadi Guru

MENJADI guru adalah cita-cita yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Terlahir dari seorang ayah yang juga guru, menjadikan profesi guru bukan sesuatu yang asing dalam hidupku. Namun sedari kecil hingga menuju bangku kuliah, tak pernah terlintas dalam ingatan ingin menjadi seorang guru.

Itulah latar belakang yang menyebabkan aku memilih jurusan kuliah yang tidak berhubungan dengan pendidikan/tarbiah. Tujuannya jelas, agar nantinya tidak menjadi guru. Selesai kuliah di jurusan Sastra Arab salah satu kampus di Banda Aceh, aku mulai merancang arah ke mana kubawa ijazah ini. Adakah lowongan kerja yang membutuhkan sarjana Sastra?

Ternyata mencari kerja selepas kuliah tak semudah membalikkan telapak tangan. Sulitnya mencari kerja, membuatku merasa gundah. Hingga akhirnya dibukalah rekrutmen pegawai negeri sipil baru secara besar-besaran pada tahun 2019. “Inilah kesempatanku,” harapku saat itu.

Aku mulai mencari info tentang formasi PNS mana saja yang membutuhkan sarjana Sastra Arab. Aku pun memilih formasi guru bahasa  Arab di bawah Kementerian  Agama.  Itulah pilihan  yang realistis saat itu. Pilihan guru Bahasa Arab terpaksa kuambil karena kemungkinan untuk lulus lebih besar daripada di formasi lain seperti menjadi penerjemah bahasa Arab.

Tahap seleksi demi seleksi kulalui hingga akhirnya tiba pengumuman akhir yang menyatakan aku lulus PNS sebagai guru Bahasa Arab. Perasaanku bercampur aduk, antara bahagia dan bingung. Bahagia karena lulus sebagai PNS di usia yang masih dibilang  muda  dan   tak perlu  menganggur  lama  selepas  kuliah. Sedangkan perasaan bingung muncul karena aku akan menjadi seorang guru, profesi yang  aku hindari dan tak pernah terbayangkan sebelumnya, bahkan pengalaman menjadi guru pun belum ada sama sekali.

Setelah semua proses administrasi pendaftaran ulang sebagai PNS baru selesai, aku pun menunggu pengumuman jadwal pengambilan SK sekaligus pemberitahuan tempat tugas.

Pengumuman keluar, aku pun terkejut ketika mengetahui tempat tugasku sebagai guru yang jauh jaraknya 300 km dari rumahku. Itu artinya aku harus merantau dari kampung halaman dan mengabdi sebagai guru di kampung orang. Sungguh berat rasanya, menjadi seorang guru, profesi yang sebelumnya tak pernah kuharapkan, ditambah tanpa pengalaman mengajar dan jauh dari kampung halaman. Lengkap sudah tantangan yang akan menantiku.

Sesuai jadwal dan tempat, hari pengambilan SK PNS tiba, aku pun berangkat ke Kota Langsa. Sesampai di Kota Langsa, aku bergegas ke tempat pengambilan SK.

Acara berlangsung dengan lancar dan aku pun menerima SK Tugas  yang  menyatakan aku sebagai guru Bahasa Arab dan bertugas di MT’s N 1 Aceh Timur, sebuah madrasah di kawasan Simpang Ulim, Aceh Timur. Tempat yang asing dan tidak pernah ku singgahi sebelumnya.

SK sudah di tangan, mau tidak mau, aku harus melaporkan diri ke madrasah tersebut sebagai guru Bahasa Arab baru yang akan bertugas di sana. Semua proses administrasi yang dibutuhkan ku lengkapi satu per satu hingga akhirnya aku pun dinyatakan siap bertugas dengan profesi baruku sebagai guru bahasa Arab di MT’s N 1 Aceh Timur.

Sebelum masuk kelas untuk pertama kalinya, aku pun sempat membayangkan, apa yang ku lakukan di kelas nanti, apa yang harus kuajarkan nanti. Semua kerisauan dan kegelisahan ini  terus berkecamuk di hatiku, maklum saja, tidak ada pengalaman menjadi guru sebelumnya dalam perjalanan hidupku. Untungnya hari pertama masuk kelas adalah ketika sedang ujian semester. Jadi tidak perlu mengajar, hanya perlu mengawas. Jadi bisa menjadi hari pemanasan sebelum benar-benar masuk kelas untuk mengajar sebagai guru Bahasa Arab.

Pagi pun tiba, aku bersiap-siap menuju sekolah dengan seragam dinasku. Sesampainya di sekolah, aku menunggu bel masuk tanda ujian dimulai. Kuambil dokumen yang berisi soal-soal dan menuju ruangan ujian. Sambil berjalan menuju kelas, kucoba ingat kembali bagaimana cara guruku mengawas ujian ketika aku sekolah dulu agar bisa ku terapkan di kelas nantinya.

Sesampai di depan pintu kelas, ruang ujian tujuanku, siswa-siswi sudah berada di dalam dan siap mengikuti ujian sembari menungguku masuk. Aku pun melangkahkan kaki ke dalam ruang kelas.   Ketua   kelas   memberi perintah   untuk   memberi   salam. “Berdiri, beri salam,” ujar seorang siswa, dan langsung diikuti oleh seluruh siswa lainnya sambil berdiri dan memberi salam.

Momen canggung pun terjadi, saking groginya, tanpa ku sadari bukannya menjawab salam terlebih dahulu, aku malah menyuruh mereka langsung duduk. Mendengar ucapanku tersebut, para siswa

merasa aneh dan terlihat mau tertawa dari raut wajahnya.  Sampai di situ aku sendiri belum menyadarinya. Aku pun mencoba memikirkan tentang kesalahan atau kejanggalan yang telah ku lakukan.

Di antara kebingungan tersebut, siswa-siswi telah duduk kembali dan dilanjutkan dengan membaca doa bersama. Aku sendiri masih berpikir keras, hingga akhirnya aku menyadari bahwa momen yang janggal tadi karena aku lupa menjawab salam siswa-siswa. “Ah, bisa-bisanya salam lupa kujawab,” kataku dalam hati.

Selesai membaca doa, aku mulai membagikan kertas soal dan lembar jawaban kepada para siswa. Siswa mengikuti ujian dengan tenang dan fokus. Tidak ada lagi momen janggal yang terjadi selama ujian berlangsung. Hari  pertamaku sebagai  pengawas  ujian  pun berakhir. Hari yang bersejarah, itulah hari pertama aku menjadi seorang guru!

Setelah libur semester genap berakhir, hari pertama masuk sekolah tahun ajaran baru pun tiba. Kali ini, tantangan dalam perjalananku menjadi guru kembali terjadi, aku yang nol pengalaman sebagai guru dan  tak  pernah  mendidik  ini  ditunjuk sebagai salah satu wali kelas.

Wow, apalagi yang harus ku lakukan nanti sebagai wali kelas. Menjadi wali kelas berarti menjadi orang tua untuk siswa di kelas tersebut.Bagaimana bisa? “Menjadi ayah untuk satu anak aja belum pernah, apalagi harus mencoba menjadi ayah untuk satu kelas,” pikirku bingung.

Namun mundur takbisa, maju sudah seharusnya. Aku menerima keputusan sekolah yang menjadikanku sebagai wali kelas, wali kelas amatir. Hari pertama masuk sekolah tahun ajaran baru, aku langsung masuk ke kelas, karena wali kelas harus masuk untuk memberi pengarahan kepada siswa-siswanya.

Aku pun masuk ke kelas, memperkenalkan diri sebagai guru dan wali kelas mereka.

Kemudian dilanjutkan dengan siswa-siswa yang memperkenalkan diri secara bergiliran.

Di situlah untuk pertama kalinya aku menikmati peranku sebagai wali kelas, ada kebahagiaan tersendiri melihat siswa-siswi yang antusias mendengar setiap kata dan nasihat dariku. Aku pun terpacu semangat untuk bersungguh-sungguh mengayomi dan menjadi orang tua bagi siswa-siswaku di sekolah. Bahagia rasanya bisa menjadi salah satu bagian dalam perjalanan hidup anak-anak ini.

Hari demi hari berlalu, aku pun mulai beradaptasi dengan kehidupan   baruku   sebagai   guru.   Bangun   pagi,   berangkat   ke sekolah, masuk kelas dari Senin sampai Sabtu menjadi rutinitas baruku. Ada banyak suka maupun duka selama mengajar. Adakalanya merasa senang karena siswanya patuh, dan mengerti apa yang kuajarkan. Adakalanya aku dibuat kesal dan marah ketika siswa berulah dan tidak mau mendengar apa yang ku sampaikan.

Tapi itulah asam garam yang harus kuterima, inilah jalan hidup yang telah digariskan Tuhan untukku. Sebagai guru yang amatir, inilah kesempatan bagiku untuk terus berusaha belajar banyak, terutama dari guru-guru senior di sini yang sudah puluhan tahun mengajar dan tanpa mengenal lelah.

Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul “Secuil Kisah Semesta Cinta” pada tahun 2022 lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *