My Name is Dita Fadhillah

ASSALAMU’ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH.”

Hello.”

Good morning, everybody.”

I would like to introduce my self to you all.”

My name is Dita Fadhillah, but you can call me Dita for short.” “I am from Meulaboh, West Aceh. I graduated from ….”

Itulah perkenalan singkat nan manis yang disampaikan oleh seorang siswi yang energik dan periang di kelas. Perkenalan sederhana yang membuatku tertarik, melirik, dan akhirnya jatuh hati pada tutur sopan sang siswi ini. Pada siang hari yang menyenangkan itu, pertama kali aku mendengarkannya, penantianku selama lebih dari dua tahun akhirnya terwujud dalam sosok siswi bernama Dita.

Pada saat itu, aku masihlah guru muda, mantan mahasiswa yang baru dua tahun mengabdi di kampung tercinta, setelah sekian tahun berdomisili di ibu kota demi sebuah cita. Ya, aku masihlah seorang yang masih baru berkecimpung di dunia “perguruan”, pada waktu itu lebih tepatnya aku bertugas di sebuah SMA Negeri.

Berhubung pada awal karier mengajar, aku memulainya sebagai guru les dan bimbel (bimbingan belajar), aku terbiasa menghadapi siswa dengan segudang rasa penasaran, kemampuan berbahasa yang sudah cukup baik, serta mampu berkembang dengan pesat dalam pembelajaran. Hal ini tentu saja membuatku sedikit frustasi saat aku harus menghadapi siswa yang acuh, malas, ataupun sedikit terlambat dalam pembelajaran. Siang malam aku berdoa supaya aku bisa menemukan siswa yang mau belajar, minimal punya rasa penasaran pada mata pelajaran yang kuampu, Bahasa Inggris.

Bahasa Inggris sendiri merupakan salah satu mata pelajaran yang kurang diminati oleh siswa. Mereka bilang sih, “Susah, Miss. Gak sama tulisan sama bacaannya.” Alasan klasik para siswa jika ditanyakan kenapa tidak menyukai Bahasa Inggris. Ada juga yang berujar, “Males, Miss. Emang kalo bisa bahasa Inggris mau dipake di mana? Di kampung kan gak ada bule, Miss.” Duh, langsung meringis gurunya kalau kamu kasih alasan itu, anakku sayang.

Dengan beragam alasan, semangatku yang menggebu-gebu di awal untuk sharing ilmu, mengajar apa yang aku bisa ke siswa jadi sedikit layu. Namun, aku masih bertahan dan terus berdoa supaya aku bisa menemukan siswa yang bisa kuajak bermain dalam dunia bahasa Inggris yang seru. Dan, akhirnya hari ini doaku terjawab.

Pertama kali bertemu Dita, begitu aku biasa memanggilnya, aku melihatnya selalu aktif dan ceria. Dia juga santun dalam berbahasa. Kemampuan bahasa Inggrisnya luar biasa, segala keterampilan berbahasa seperti speaking, reading, listening dan writing mampu dikuasainya dengan gemilang. Tidak hanya itu, Dita juga memiliki kemampuan sosial yang mampu menggerakkan teman sekelasnya untuk mau belajar.

Namun di balik segala hal yang menempel pada sosoknya, Dita dan adiknya merupakan korban dari gelombang dahsyat tsunami yang melanda bumi Serambi Mekah pada akhir tahun 2004. Musibah tersebut tidak hanya menghancurkan rumah dan membuat mereka kehilangan harta benda, kejadian tersebut juga telah merenggut kedua orang tuanya dan menjadikan mereka yatim piatu. Kemudian, saudara ayah Dita membawanya ke kampung kami untuk membantunya bangkit dan melupakan rasa trauma yang dialami Dita.

Dalam kesehariannya di sekolah, Dita terkenal sebagai siswa yang rajin, sopan, haus ilmu pengetahuan, namun juga seseorang yang humble. Dengan statusnya sebagai siswi kesayangan dan anak emas dari semua guru, hal itu tidak membuatnya sombong. Sebagai siswa baru, dia memiliki cukup banyak teman, dia luwes dalam pergaulan. Dita mampu menjadi sosok tutor sebaya bagi teman-teman sekelasnya. Dia mampu berbagi tanpa adanya sikap menggurui yang kadang dimiliki oleh beberapa siswa yang pernah kuminta kesediaannya menjadi pendamping teman-teman seangkatannya. Hal-hal positif tersebut membuat dia terkenal dengan cepat di angkatannya. Siswa dan siswi dari kelas lain jadi penasaran dengan sosoknya.

Dita yang ramah juga terlihat dalam aktivitasnya di rumah. Tinggal bersama nenek dan pamannya di sebuah rumah sederhana di seberang lapangan bola kaki di kampung kami, aku sering menemukannya membantu sang nenek menyapu halaman atau sekadar berbelanja ke pasar. Dia menjalani harinya seperti anak lain sebayanya, tetapi di dalam senyumnya, masih tersimpan luka yang mendalam. Pada saat tertentu, air menggenang di pelupuk matanya. Dia akan berkaca-kaca selama sepersekian detik, lalu dengan buru-buru menghapusnya jika aku, guru-gurunya yang lain, bahkan teman-temannya memergoki adegan tersebut. Saat itu kau akan beralasan sepele seperti, “Kemasukan debu, Miss,” jawabmu sambal tersenyum.

Hatimu sungguh rapuh, namun kau menyimpan semua lukamu dengan rapi, Ditaku Sayang. Seperti yang semua orang perkirakan, di akhir semester pertama kelas X, Dita langsung memuncaki peringkat kelas dengan nilai jauh di atas teman-teman sekelasnya. Dia hanya tersenyum manis dengan mata berkabut air mata yang ingin jatuh pada saat semua teman menyalaminya. Aku yang hanyalah guru Bahasa Inggris kelasnya pun datang menghampiri. Kuberi dia pelukan hangat untuk menguatkannya.

Ku sampaikan kata-kata selamat atas prestasinya, bahwa aku bangga dengan pencapaiannya dan semangat untuk tetap meraih cita-citanya. Kami berpelukan cukup lama karena aku tahu dia butuh menangis dan meluapkan perasaannya. Sebab kerinduan itu tampak jelas dalam tatapannya, rindu akan keluarganya yang akan turut merasa bangga dengan apa yang ia raih pada hari itu.

Hari penerimaan rapor itu, menjadi hari yang semakin mendekatkanku pada seorang Dita. Dia menyampaikan padaku, libur semester ini dia akan mengunjungi adiknya. Dia bahkan mengatakan bahwa dia ingin memperkenalkanku pada adik semata wayangnya itu. Aku pun menyanggupi jika sang adik berlibur ke rumah nenek mereka, aku ingin dipertemukan dan diperkenalkan. Kuucapkan kata-kata selamat berlibur, semoga liburannya menyenangkan dan sederet kata-kata lainnya dan Dita pun tersenyum bahagia. Sebegitu mudahnya membuatmu bahagia, Sayang.

Semester baru, semangat baru. Dita Kembali dan seperti biasanya, dia tetap menjadi jagoanku. Semester ini, aku memutuskan Dita bukan hanya sebagai tutor sebaya, namun juga partnerku di kelas. Penguasaan vocabulary-nya meningkat selama liburan, sehingga aku benar-benar bisa berbicara padanya selayaknya berbicara dengan rekan guruku yang lain. Terlebih dia mengikuti caraku melancarkan pengucapan dan aksen bahasa Inggris dengan menonton (film, berita, infotainment, reality show, dan sebagainya) ataupun mendengarkan lagu-lagu berbahasa Inggris. Wah, aku salut dengan siswa satu ini. Sekarang dia jadi punya kemampuan speaking yang semakin mumpuni dengan sedikit sentuhan Australian accent.

Di dalam kelas, dia juga mampu meningkatkan minat dan semangat belajar teman-temannya. Salah satunya Muhammad Inayat, seorang siswa yang diam-diam sebenarnya menyukai bahasa Inggris namun karena dia sedang dalam fase “pemberontakan seorang pemuda”, maka dia sedikit bermalas-malasan dan akhirnya membuatnya tertinggal dalam pelajaran. Namun, Dita membuatnya melupakan “tingkah konyol” dan ingin mengejar ketertinggalan selama ini. Suasana kelas pun senantiasa menyenangkan dengan atmosfir yang menggebu-gebu. Kelas mereka pun secara tidak langsung menjadi kelas favoritku untuk mengajar.

Sebuah pertemuan pasti akan diakhiri oleh sebuah perpisahan. Pada akhir semester kedua pun, aku mendapat kabar bahwa Dita akan pindah dan melanjutkan pendidikannya di ibu kota. Sang tante, adik bungsu almarhum ayahnya, sangat sadar akan talenta Dita. Beliau memutuskan untuk memasukkan Dita ke salah satu sekolah bergengsi di sana. Jadi hari itu pun datang, Dita mengambil rapornya dengan tersedu. Dia merasa berat harus melepaskan sekolah dan teman-temannya selama satu tahun ini. Kami semua sudah menjadi satu tim yang sangat disayanginya. Hatinya yang putih mengganggap bahwa pertemuan kami belum selesai, tidak seharusnya berakhir secepat ini.

Pada hari itu, Dita benar-benar menangis. Dengan air mata berderai, dia mohon izin padaku. Dia berkata, “Miss, Dita harus pindah sekolah. Dita mau bilang, thank you so much for everything that you’ve done for me. I really thank you, Miss. Wish I can meet you someday. I will always remember you, Miss.”  (Terima  kasih  atas semua yang telah Ibu lakukan untuk saya. Saya benar-benar berterima kasih. Saya berharap akan bertemu denganmu kembali suatu saat nanti. Saya  akan  selalu  mengingatmu,  Bu). Kata-kata perpisahan Dita membuatku sendu. Belum cukup rasanya waktu yang diberikan untukku mengenalmu, Nak. Tetapi aku tahu, semua untuk kebaikanmu. Selamat jalan anakku Sayang, selamat berjuang, semoga kau sukses dan bisa meraih cita-citamu, aamiinn.

Pertemuan singkatku dengan Dita telah membuatku menjadi seorang guru yang lebih baik. Belajar menumbuhkan rasa empati, meningkatkan rasa percaya diri, serta semakin ingin mengenali diri sendiri. Banyak hal-hal positif yang ikut dihadirkan Dita, tidak hanya untukku, namun juga orang-orang lain di sekitarnya. Kami belajar banyak hal darimu, Dita, bahwa sebuah musibah juga membawa hikmah, keterpurukan bukan akhir segalanya. Senyummu membuat kami menyadari betapa sedikitnya kami bersyukur atas nikmat-Nya dalam hidup kami. Terima kasih, Dita.

Lima tahun pun berlalu. Aku sekarang sudah di tempat yang berbeda, namun masih dengan profesi yang sama. Aku masih berjuang dan berusaha menjadi guru yang semestinya. Banyak hal kecil yang kadang membuatku putus asa, sikap siswa yang kadang membuatku kecewa, kenakalan siswa yang membuat kepalaku ingin meledak  saja.  Rutinitas  sebagai  guru  yang  pasti  membuat rekan-rekan sejawat tersenyum dikulum membaca kisah dan ceritaku. Keluh kesah kita sama. Ini sudah tugas kita, mencerdaskan anak bangsa.

Berangkat dari kisah Dita, aku pun tidak hanya ingin menjadi guru, namun menjadi teman. Aku berusaha menyelami kehidupan siswa-siswaku, mencari tahu seperti apa mereka, apa yang mereka sukai, apa yang menjadi cita-cita dan kesenangan mereka. Ya, semua berawal dari Dita. Aku masih mengingatmu, Dita. Sekian tahun berlalu, namun ingatan tentangmu masih tetap membekas. Aku cuma bisa berharap, kau sudah sukses saat ini.

Hari ini, saat aku sedang memeriksa tugas siswa sambil sedikit bercerita dengan seorang teman guru, tiba-tiba smartphone-ku bergetar, penanda ada notifikasi pesan baru. Ada seseorang yang menghubungiku melalui Messanger Apps. Awalnya aku ingin mengacuhkan pesan tersebut, sebab aku tidak mengenali foto profil yang digunakannya. Namun, detik aku menyadari siapa yang menyapa, aku langsung tersenyum sumringah dan berkata, “Ya ampuunn, Ditaaa.”

Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul “Secuil Kisah Semesta Cinta” pada tahun 2022 lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *