Konflik Tak Menyurutkan Semangat Belajar Siswaku
SEBAGAI seorang guru, tentunya aku memiliki pengalaman dan kesan kepada siswaku. Melalui tulisan ini, izinkan aku berbagi pengalaman pahit dan manisnya kehidupan dalam berjuang untuk mendidik anak bangsa. Halangan dan rintangan menjadi bumbu dalam rutinitas hidupku, khususnya di bidang pendidikan.
Masih belum luput dalam ingatanku, sekitar tahun 1999, saat itu aku masih menjadi guru honorer di MIN Babut Taqwa, tepatnya di Kecamatan Pante Bidari, Kabupaten Aceh Timur. Saat itu Aceh masih dilanda konflik yang berkepanjangan. Suasana mencekam selalu menghantui masyarakat Aceh. Tugasku sebagai seorang pendidik tentunya mengharuskanku tetap mendidik anak bangsa, walaupun di tengah kondisi mencekam. Semua ku pertaruhkan demi baktiku pada Ilahi dan republik ini.
Jarak yang jauh tidak menjadi halangan bagiku untuk terus berpacu agar tiba di sekolah. Aku harus berjalan kaki dengan jarak lebih kurang 2 km. Bukan aku tidak memiliki kendaraan, melainkan ada rasa takut yang terus menghantuiku, karena hampir setiap hari terdengar suara letusan dan suara tembakan. Terkadang aku harus sembunyi di rumah-rumah warga, bahkan sering kali tiarap di rerumputan dengan rasa was-was yang luar biasa. Hanya kepada Allah ku serahkan diri dan memohon keselamatan.
Pagi itu seperti biasa, aku bersiap menjalankan tugas. Bismillah, aku langkahkan kaki, berharap hari ini tidak akan terjadi apa-apa. Sesampainya di sekolah, ternyata kondisi sekolah masih sepi. Hanya beberapa guru yang hadir. Guru yang berdomisili jauh dari sekolah belum satu pun yang hadir. Aku bisa memakluminya karena kondisi yang tidak kondusif. Aku pun memantau ke lokal hanya ada beberapa siswa yang datang. Aku sedih, melihat sekolah yang sepi, sunyi, mati perlahan tanpa penghuni. Kondisi yang sangat memprihatinkan bukan? Sering kali linangan air mata membasahi pipiku saat melihat kondisi sekolah.
Dalam satu kesempatan, aku pernah mengajar hanya tiga siswa dalam satu kelas. Mereka siswa yang rumahnya sangat dekat dari sekolah. Aku berinisiatif untuk mengumpulkan mereka dalam satu ruangan. Aku mengajarkan mereka menulis, membaca, dan juga berhitung. Waktu tidak boleh terbuang percuma, sia-sia tanpa ada sesuatu yang akan dibawa pulang oleh mereka.
“Kenapa Suryati tidak hadir hari ini?” tanyaku pada Nuri yang rumahnya berdekatan.
“Ibunya melarang dia sekolah, Bu,” jawab Nuri santai.
“Sampai kapan begini, Bu?” tanya salah satu siswaku.
“Kami ingin sekolah dan ingin jadi orang pintar, Bu!” sahut siswa lainnya.
“Apa kita harus berperang? Padahal kita sudah merdeka!”
Pertanyaan polos yang keluar dari mulut siswa siswaku. Aku paham, mareka ingin menikmati masa sekolah dan belajar dengan tenang dan nyaman, ingin bermain bercengkerama dengan kawan-kawan dan bahkan mereka rindu dengan gurunya. Terkadang memarahi, bercanda, dan bahkan pulang bersama-sama sambil bercerita sepanjang jalan setapak.
Mereka berusaha menjawab dan menyelesaikan tugas yang aku berikan. Sesekali mareka memanggil namaku untuk sekadar bertanya tentang apa yang tidak mereka pahami.
Suryati merupakan salah satu putri pejuang Aceh. Pertama aku mengira dia anak yatim. Karena tidak pernah sekali pun aku melihat ayahnya, padahal sekolah tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Kehidupan yang berat harus dia jalani dengan adik dan ibunda tercinta. Ayah harus selalu berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain. Tidak mudah baginya untuk menyimpan rasa sedih dan rasa kesendirian yang dialaminya. Dia anak cerdas, aku berusaha menghiburnya sebisaku. Memberikan semangat dan motivasi untuk lebih giat belajar, sehingga dia bisa membuktikan kepada orang-orang sekitar bahwa tanpa ada sosok ayah di sampingnya, dia mampu menjadi anak yang berprestasi. Nyatanya, Suryati menjadi juara kelas. Pencapaian yang luar biasa bagi seorang anak yang hidup dalam kesederhanaan.
Bulan berlalu dan tahun pun berganti, tetapi semangatku tetap membara untuk mencerdaskan anak bangsa. Kondisi keamanan perlahan mulai pulih. Kegiatan sekolah mulai aktif kembali.
Tidak ada alasan lagi untuk tidak bersekolah. Proses pembelajaran harus aktif kembali. Guru diwajibkan untuk hadir semua tanpa alasan apa pun. Sekolah seakan bernyawa dan hidup kembali. Alhamdulillah, rasa syukur yang tidak terhingga selalu terpanjat kepada Allah yang telah memberikan nikmat dan keamanan yang luar biasa.
Hari ini aku mengajar pelajaran Bahasa Indonesia di kelas VI. Aku ingin mengajarkan cara menulis puisi pada siswaku. Ku paparkan materi menulis puisi dengan jelas. Kini giliran siswa untuk membuat puisi dengan tema bebas. Aku akui memang bahasa Indonesia yang mereka gunakan masih terbata-bata. Maklum, siswaku berasal dari daerah pelosok yang bahasa Aceh menjadi bahasa sehari-hari.
Dari sekian puisi yang terkumpul, ada satu puisi yang menarik perhatianku. Bukan karena tulisannya yang bagus, tetapi karena judulnya yang menarik. Isinya sangat menyentuh hati bagi pembacanya.
Puisi dengan judul Ketika Ayah Tidak di Sisiku mampu menitikkan air mataku. Puisi ini menceritakan seorang anak yang ditinggal sang ayah untuk berjuang membela Aceh dengan meninggalkannya bersama ibu, kakak, dan seorang adik. Ibu harus berjuang menafkahi keluarga kecil ini. Ketika bertanya kepada Ibu, ke mana Ayah sekarang, ibu pun tidak tahu harus menjawab apa. Dia berharap Ayah masih ada dan akan berkumpul dengannya suatu hari nanti. Bait terakhir yang aku ingat “Aku ingin Ayah pulang, aku rindu pelukan Ayah, banyak kesedihan ketika Ayah pergi.”
Inilah gambaran kesedihan dan kesendirian yang tertuang dalam bait puisi yang sederhana. Kudekati dia, kutanamkan kata “semangat” dan “sabar” dalam jiwanya, agar bisa tetap bisa menjalani kehidupannya.
Lima tahun aku berbakti di MIN Babut Taqwa, pada tahun 2005 dibuka tes pegawai negeri sipil. Aku menjadi salah satu peserta yang mendaftar. Segala administrasi telah aku siapkan. Dengan harapan bisa lulus nantinya. Alhamdulillah. Nikmat Allah manakah yang harus aku dustakan? Aku lulus PNS, namun bukan di tempatku bertugas sekarang. Kebahagian yang sangat harus aku syukuri karena Allah mengabulkan doa-doaku selama ini.
Berat rasanya meninggalkan keluarga besar MIN Babut Tagwa yang sudah menjadi keluarga sendiri. Susah senang telah kami lewati bersama dengan satu tujuan, yaitu mencerdaskan anak bangsa yang nantinya akan menjadi penerus bangsa ini.
Wajah siswaku tampak sedih dengan perpisahan ini. Kebersamaan yang terjalin selama ini membuat warga MIN dalam kesedihan. Aku memang bukan guru yang baik, tetapi rasa kekeluargaan sangat erat di antara kami, sehingga mereka merasa kehilangan dengan penempatanku ke tempat tugas baru.
Acara perpisahan kecil-kecilan pun dilaksanakan di sana. Kata-kata perpisahan tidak mampu aku ucapkan. Kata-kata yang telah kususun dengan baik tidak tersampaikan. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada seluruh warga MIN yang telah menjadi teman seperjuangan dan saling membantu dalam kesulitan. Dan juga memohon maaf atas segala kesalahan dan tingkah laku yang tidak sepatutnya dilakukan. Kesalahan yang sengaja dan tidak disengaja yang dapat menggores luka.
Kado sederhana sangat bernilai aku terima dari anak-anak tercintaku. Aku akan tetap menjadi orang tua kedua bagi mereka, kapan dan di mana pun itu. Hakikatnya tidak ada kata perpisahan, yang ada hanyalah berpindah tempat tugas. Satu per satu mereka menyalamiku dan kupeluk mereka satu per satu dengan harapan tetaplah mereka mengenangku sebagai guru mereka. Meninggalkan kenangan indah hingga mereka beranjak dewasa.
MTsN Simpang Ulim yang kini berubah nama menjadi MTsN 1 Aceh Timur menjadi tempat tugasku yang baru. Aku harus beradaptasi dengan lingkungan baru, kawan baru, dan juga sekolah baru. Sekolah yang menuntut aku untuk lebih kreatif, karena tingkat pemahaman mereka lebih terbuka dan pola pikir mereka sudah lebih dewasa.
Suryati meninggalkan kesan yang mendalam bagiku. Apalagi saat ini Aceh sudah damai. Tempat tugasku yang baru membuatku tak dapat lagi melihatnya, mengikuti perkembangannya. Kini aku tak lagi mendengar kabar tentangnya. Kucari keberadaannya untuk sekadar bersilaturahmi juga tak membuahkan hasil. Aku hanya dapat berdoa dan berharap pada Allah, untuk menjaganya di mana pun ia berada. Dengan kepintaran dan kemauannya yang kuat, aku yakin ia dapat hidup sukses di luar sana. Ia adalah salah satu murid terbaikku. Tulisan ini ku persembahkan untuknya, agar ia tahu betapa aku begitu terkesan dengan hidupnya.
Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul “Secuil Kisah Semesta Cinta” pada tahun 2022 lalu.