Kerang, Murahnya Hargamu, Mengubah Siswaku (Part 2)

Setelah tulisan tentang Foujar berhasil di muat pada website sekolah, ternyata tulisan tersebut mengundang simpatik dari kolegaku. Jujur aku tak bermaksud untuk berharap belas kasihan orang lain untuk siswaku ini. Tujuan awalku hanya melukiskan kesanku pada Foujar untuk kemudian di tuliskan dalam sebuah buku.

Malam itu juga setelah tulisan tersebut aku share ternyata banyak yang bersimpatik padanya. Salah satu dosenku seketika langsung mentransfer uang senilai satu juta rupiah untuk membantu Foujar dan keluarganya. Lalu temanku yang seorang supervisor PLN rayon Idi meminta bantuanku untuk mengecek rumah Foujar untuk memastikan apakah rumahnya telah teraliri listrik atau belum.

Keesokan harinya aku menjumpai Foujar untuk menyerahkan tulisan tentangnya sambil mengabarkan berita bahagia semalam padanya. Selepas ujian aku mengantarkannya kerumah, dalam perjalanan kami berhenti pada sebuah kedai kopi milik salah satu guru di sekolahku yang baru saja launching. Sebelum aku ceritakan kabar bahagia tersebut beberapa pertanyaan aku ajukan padanya.

“Setelah lulus nanti apa Foujar berencana menyambung sekolah?”

“Saya tidak tahu pak.”

“Loh kenapa Foujar tidak tahu, bukankah sekolah itu penting?”

“Iya pak saya tau, tapi…”

“Tapi kenapa Foujar?” tanyaku penasaran

“Saya gak punya uang untuk menyambung sekolah.”

“Bukannya Foujar bekerja mencari kerang?”

“Iya pak, tapi sekarang kerang sudah susah dicari. Sudah banyak tambak warga yang gak bisa sembarangan kita masuk. Kadang saya harus mencarinya hingga jauh hingga ke desa tetangga.” Ceritanya dengan terbata-bata.

“Lalu yang Foujar butuhkan sebenarnya uang jajan atau uang untuk beli perlengkapan sekolah?”

“Uang untuk beli baju sekolah pak.” Seketika aku langsung melihat sepatunya. Sepatu yang penuh dengan sobekan.

“Apa Foujar ingin sekolah?” tanyaku untuk memastikan lagi.

“Tidak tau pak” di jawab dengan polosnya.

Kemudian aku ceritakan kabar baik semalam padanya tentang seseorang yang ingin membantunya. Tapi aku mau kepastian akan keinginannya untuk bersekolah lagi. Jika memang ia tak ingin sekolah, uang tersebut akan kuserahkan langsung untuknya. Namun aku ingin uang itu dapat berguna bagi pendidikannya kelak.

Mendengar itu ia langsung katakan padaku

“Saya mau sekolah pak”. aku tersenyum mendengarnya.

“Baiklah Foujar, aku akan mendaftarkanmu di sekolah terdekat, tapi bagaimana caramu pergi ke sekolah jika kamu sendiri tak memiliki kendaraan?”

“Saya bisa menumpang dengan teman pak” jawabnya yakin.

“Kalau begitu kamu akan saya daftarkan di MAN Simpang Ulim, agar ketika kamu kesulitan nantinya saya memiliki teman disana yang akan bersedia membantumu”

“Oke pak” jawabnya dengan tersenyum.

Saat akan beranjak pergi untuk mengantarkannya pulang, tiba-tiba Foujar berkata

“Pak saya boleh kesitu sebentar” sambil menunjuk arah yang di maksud.

“Ada perlu apa Foujar?” tanyaku penasaran

“Mau ambil uang pak”

“Uang apa?” aku kembali bertanya

“Uang kerja tadi pak, sebelum ke sekolah saya pergi ke sawah untuk bekerja”

“Bukannya Foujar biasanya cari kerang?”

“Cari kerang udah susah pak, sekarang kalau gak ada kerja lain baru saya cari kerang”

“Oke, tapi bisakah saya mengantar Foujar pulang dulu? Saya masih ada pekerjaan di lab.” Aku ingin segera mengecek keadaan rumahnya.

“Boleh pak, nanti malam saja saya ambil uang kerja saya”

Lalu kami pun bergegas, ia menunjukkan jalan rumahnya. Namun ia masih bingung saat aku tanya arah kanan atau kiri. Dia hanya menunjuk arah tanpa berkata kanan atau kiri. Di perjalanan aku memastikan apakah rumahnya memiliki listrik atau tidak. Namun belum sempat di jawab ternyata ia menunjuk rumahnya. Aku perhatikan ternyata rumahnya telah tersambung kabel listrik, tampak sebuah lampu di depan rumahnya dalam keadaan hidup.

Karena terburu waktu, aku tak sempat masuk kerumahnya. Seperti biasa salah satu hal yang aku sukai darinya, ia selalu mencium tanganku seraya mengucapsalam dan berkata

“Besok kita jumpa lagi ya pak”

“InsyaAllah” jawabku

Berselang 2 hari kemudian, seperti pagi-pagi biasanya, saat tak memiliki jam mengajar aku bersama temanku menyempatkan diri meneguk segelas kopi pancung di warung langganan kami. Setiba disana kami berjumpa dengan kepala sekolah dan teman akrabnya. Tiba-tiba ia mengucapkan selamat pada temanku atas keberhasilannya menjalankan pelatihan kepemimpinan OSIM. Anak beliau menjadi salah satu pesertanya. Lalu ia pun mengucapkan selamat padaku, Awalnya aku pun bingung karena aku tak melakukan apapun. Sambil tersenyum ia bilang tulisanku mengenai Foujar menyentuh hati para pembacanya. Bahkan ia dengar dari kepala sekolah kami bahwa banyak sumbangan yang datang untuk Foujar.

Aku pun bingung harus menjawab apa, hanya tersenyum sambil terus mendengar ceritanya. Bahkan katanya Kepala Kantor Kemenag Aceh Timur saat berkunjung ke sekolahnya meminta kami untuk membaca tulisanku. Kemudian aku ceritakan kembali padanya tentang pertemuanku baru-baru ini dengan Foujar, lalu ia berujar

“Untuk perlengkapan sekolah serahkan ke saya, akan saya bantu sebisa saya agar ia dapat melanjutkan sekolah” mintanya

“Tapi pak bantuan untuk perlengkapan sekolah sudah ada di tangan saya” jelasku

“Tak apa, gunakan uang itu untuk keperluan lainnya. Untuk yang ini biar saya yang usahakan” jelasnya

“Baik pak, terima kasih.”

“Sayalah yang berterima kasih, tulisan ini berhasil menggambarkan keadaan kita saat ini.”

Aku pun tertunduk malu, aku hanya menyalurkan hobi baruku serta hanya untuk keperluan menuliskan buku bersama guru-guru hebat di sekolahku.

Dari sini aku belajar bahwa dengan tulisan yang baik kita dapat mengajak orang lain untuk berbuat baik. Terima kasih yang tak terhingga aku ucapkan kepada para donatur. Semoga kebaikan kalian menjadi amal jariyah. Amin ya rabbal alamin.

Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul “Secuil Kisah Semesta Cinta” pada tahun 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *