Nazar untuk Fathin

Fathin Azkia nama putri kedua kami yang lahir tahun 2003, dibalik namanya terselip harapan untuk kehidupannya kelak. Kehadirannya menambah kebahagiaan dalam keluarga kami. Memiliki postur tubuh yang kurus, kulit sawo matang, rambut ikal dan berwatak keras. Banyak kawan dan kerabat mengatakan dia sangat mirip denganku mungkin sebab itu juga terkadang ada ketidak cocokan antara kami.

Kejadiannya sudah lama, Fathin mengalami kecelakaan Scoopy vs Avanza di jalan Banda Aceh Medan tepatnya di Desa Tanjong Minje, Aceh Timur.

Pagi ini Fathin minta izin berkunjung ke rumah teman yang sakit. Dia berangkat bersama Qadri dengan angkutan kota (Jumbo). Kami tidak mengizinkannya membawa sepeda motor, karena usianya yang masih dibawah umur dan belum memiliki SIM. Kami merasa telah melakukan hal yang benar, walaupun Fathin bersikeras ingin membawa sepeda motor.

Saat itu aku dan suami berada di Idi. Mengikuti acara Expo yang diadakan oleh Kantor Kementerian Agama Aceh Timur selama tiga hari. Hari ini hari terakhir, sekitar jam 12.45 wib HP di genggamku tiba-tiba berdering dengan nada musik yang syahdu. Nada yang aku sukai. Aku mencari sumber bunyi ternyata ada di dalam tas yang tergeletak diatas kursi dibelakangku, ada deretan angka muncul di layar hp dan no itu tidak terdaftar.

“Assalamualaikum ibu, ini benar dengan miminya Fathin?” kudengar suara diseberang sana.

“ya, ini dengan mimi Fathin.” Jawabku singkat.

Karena penasaran akupun langsung bertanya “ada apa ibu?”

Ternyata bundanya Qadri yang menelepon. Berita kesedihan yang kuterima. Beliau mengabarkan tentang  Fathin yang kini sedang dirawat di Puskesmas Panton labu, Aceh Utara, karena baru saja mengalami  kecelakaan. Seketika lidahku kaku tidak sanggup bicara lagi, kakipun gemetar dan akupun terduduk dikursi tanpa berdaya. Ya Allah  bagaimana keadaan Fathin, aku tidak sanggup membayangkan keadaan  putriku sekarang, terbaring dengan tubuh berdarah, merintih kesakitan, terdengar suara-suara dengan nada kasihan terhadap putriku, semua menari-nari dikepalaku. Muncul banyak pertanyaan yang tidak aku temukan jawaban saat itu. Ada butiran kristal yang menganak memenuhi netraku, tidak terbendung lagi.

Dalam kepanikan, aku tidak peduli dengan pertanyaan teman-teman, ada apa buk, kenapa nampaknya sedih, ada masalah apa. Tidak satupun dari pertanyaan mereka kujawab. Tujuanku hanya satu, mencari suamiku dimana. Aku lupa bahwa ditanganku ada hp yang bisa kuhubungi, tapi saat itu aku tidak kepikiran kesitu. Dalam suasana yang gaduh dan bising dengan suara sound aku terus mencari dan ternyata suamiku sedang duduk dengan temannya di samping panggung utama.

Aku langsung menemuinya  hanya dua kata yang   terucap “Fathin kecelakaan“. Selanjutnya aku tidak bisa bicara lagi. Dia mengambil HP-ku dan melihat panggilan terakhir masuk, dia menanyakan tentang keadaan dan keberadaan Fathin. Kami minta izin pada panitia dan menceritakan alasannya. Kami berangkat menuju Puskesmas yang disebutkan. Suami menguatkanku bahwa keadaan Fathin baik-baik saja. Dalam perjalanan pihak puskesmas menelpon minta persetujuan untuk rujuk ke rumah sakit. Kami sepakat  ke RS Graha Bunda di Idi karena letaknya yang dekat dan cepat terjangkau. 

Ketika ambulance sudah di hadapan, aku langsung naik dan melihat keadaan putriku. Dia pingsan tidak sadarkan diri, dia meronta layaknya sedang gelisah. Tangannya  dihempaskan kekanan dan kekiri seolah-olah ingin melepaskan diri, tidak ada satu patah katapun yang keluar dari mulutnya. Aku berusaha memanggil namanya berulang kali, tidak ada jawaban. Anehnya tidak ada luka di tubuhnya, tidak ada darah setetespun di tubuhnya, tidak seperti dalam banyangan ku sebelumnya. Kepala fathin terbentur keras ke badan jalan dan kulihat ada benjolan di kepalanya tapi tidak mengeluarkann darah serta tidak muntah sedikitpun. Pertanda apakah ini, parahkah sakit putriku, kuatkan hati hambaMu ini ya Allah.

Aku penasaran, bukannya tadi pagi Fathin dengan Jumbo berangkat ketempat temannya, tapi kenapa dia mengalami tabrakan Scoopy dengan Avanza? Berita sebenarnya aku tahu dari cerita Husna yang datang berkunjung melihat keadaan Fathin. Memang benar Fatnin dan Qadri dengan Jumbo ke tempat teman, tiba waktu shalat zhuhur dia dan Qadri meminjam Scoopy milik Maulana untuk shalat di rumah teman. Waktu menyeberang jalan tabrakan itupun terjadi. Saat terhempas ke jalan hanya kata “mimi” yang keluar dari mulutnya, setelah itu dia tidak sadarkan diri. Qadri hanya luka dikepala dan harus di jahit, tidak ada luka lain yang parah.

ICU menjadi tempat pengobatan Fathin selama tiga malam. Ruangan khusus untuk pasien yang butuh perawatan intensif. Banyak alat medis yang dipasang di tubuhnya. Aku terduduk dan tertunduk, rasanya aku tidak sanggup melihat semua yang ada dihadapanku. Kuseka airmata perlahan, aku tidak boleh menangis, harus kuat demi putriku. Sayup terdengar  suara lantunan surat Yasin dan doa-doa yang dibacakan keluarga pasien di ruang yang kami tempati.  Kalimah “ inna lillahi wa inna lillahi rajiun “ terdengar,  dalam semalam terkadang ada dua bahkan tiga pasien yang meninggal.  Dalam hati aku meminta jangan renggut nyawa putriku ya Allah, beri kesembuhan, kesempatan  untuk  melihat dan menikmati dunia ciptaanMu, berilah yang terbaik untuk keluargaku.

Ketika sadar dia mengeluh kepalanya sangat sakit tidak bisa digerakkan sedikitpun. Dia lebih cepat marah dan terkadang bicaranya sukar dipahami. Perlahan dia sudah bisa duduk walaupun sebentar. Kami minta izin untuk membawanya berobat ke dokter spesialis saraf. Pihak rumah sakit keberatan karena kondisi pasien yang masih perlu perawatan dan mereka lepas tangan bila terjadi hal yang tidak diinginkan. Kami harus membuat surat pernyataan bahwa kami tidak akan menuntut siapun bila terjadi hal yang membahayakan. Kami melihat perkembangannya yang tidak memungkinkan Fathin disini terus.

Besoknya kami bawa dia berobat ke dokter spesialis saraf di lhokseumawe. Disarankan untuk melakukan CT (Computed Tomography) Scan dan pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) lengkap karena bermasalah di area kepala. Entah kenapa  ketika hendak pulang dari rumah sakit Cut Mutia Lhokseumawe  tiba-tiba dia kejang dan tidak sadarkan diri lagi  dan tindakan yang diambil harus rawat inap, padahal waktu pergi tadi dia kuat dan sanggup berjalan sendiri walaupun jalannya pelan dan aku tuntun. Dokterpun heran lho kok bisa begini? Bukan hanya sekali dia kejang tapi sudah berkali – kali dan aku tidak sanggup menyaksikan itu semua, hatiku sedih,  ingin rasanya menangis, ibu mana yang sanggup melihat putrinya terbaring dengan tatapan kosong, hanya diam ketika diajak bicara. Dia tidak kenal dengan orang yang ada di sekitarnnya, dia tidak lagi mengenalku sebagai ibunya. Dia mengatakan aku mirip miminya, teriris rasa hatiku, kesedihan yang luar biasa dimana putriku sendiri tidak lagi mengenali wajah miminya. Kubuka jilbab kupanggil namanya berulang kali, siapa ini nak? Dia tersenyum dan menjawab “mimi”. Saat itu aku tidak tahu apakah dari wajah atau suara dia akhirnya mengenaliku.

Dalam keputusasaan dan ketidak berdayaan   kuserahkan semua pada kehendak Sang Pencipta. Spontan tanpa meminta izin pada suami aku bicara dengan Fathin, apakah dia bisa mendengarku atau tidak aku tidak peduli,  cepat sembuh ya nak, jika nanti Fathin sembuh  kita akan umrah sama-sama ke Baitullah, kamu harus kuat dan semangat, Allah pasti akan memberi kesembuhan,  kucium keningnya dan mensupport dengan pelukan hangat seorang ibu. Itulah janji dan nazar umrah yang terucap  untuk fathin. Kulirik kearah suami beliaupun mengangguk sebagai isyarat setuju.

Alhamdulillah, keadaan Fathin semakin membaik. Tahap selanjutnya kami sepakat membawa Fathin berobat ke dokter spesialis saraf dan akupuntur di Banda Aceh. Dokterpun mengatakan ada yang menggangu Fathin. Dia terkejut dan tersentak kuat saat dokter menyentuh kakinya, kulihat ada doa yang dibacakan. Dokter tersenyum dan melanjutkan pengobatan. Aku hampir tidak percaya, tapi itulah kenyataan yang kulihat. Setelah beberapa kali akupuntur,  Alhamdulillah ada kemajuan yang luar biasa. Berobat jalan tetap rutin kami lakukan.

Akhir Februari 2019, Allah berikan rizki lebih sehingga kami bisa pergi bareng (saya, suami, fathin dan kakaknya) menunaikan nazar umrah untuk Fathin. Di depan Ka’bah aku bersujud, aku curhat pada Allah,dengan apa yang telah aku alami dan solusi yang telah Allah berikan.  Aku panjatkan rasa syukur akan kasih sayang, rahmat dan nikmat yang tidak terhingga untuk keluargaku. Airmata bahagia deras mengalir, kubiarkan  terus mengalir didepan Ka’bah, mungkin nanti akan menjadi saksi keberadaan kami disini. Alhamdulillah hutangku telah terbayar, semua karena Allah mudahkan.

Foto kami saat berada di tanah suci melaksanakan ibadah umrah

2 thoughts on “Nazar untuk Fathin

  • September 22, 2022 pada 11:42 am
    Permalink

    Alhamdulillah, kesembuhan Allah berikan. Janji yang diucap juga sudah ditunaikan. Semoga fathin sehat selalu. Begitu juga dengan mimi sekeluarga

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *