Mengenang atau Dikenang
Profesi sebagai guru sudah lama aku jalani. Banyak suka dan duka didalamnya. Mengenang masa lalu ketika pertama jadi guru dengan sejuta rasa yang mengganggu dan perasaan grogi pasti ada. Tapi lambat laun semua itu terbiasa dan menjadi rutinitas yang menyenangkan. Mengenang masa-masa indah bersama peserta didikku menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku.
Dikenang … aku masih ingat seorang teman, beliau juga guru mengajukan pertanyaan padaku. “Jika pensiun nanti, ibu ingin dikenang sebagai guru apa oleh peserta didik ibu?” simpel bukan? Tapi sangat menyentuh. Bagaikan cermin yang memantulkan potret sendiri. Banyak pertanyaan di benakku. Sebagai seorang guru, apa yang telah aku berikan sehingga layak untuk dikenang. Apa yang harus dikenang dari diriku? Patutkah dikenang sebagai guru yang baik tanpa ada kebaikan yang diberikan, pantaskan dikenang sebagai guru yang lembut dan penuh cinta tanpa memberikan kasih sayang pada mereka, atau sebaliknya aku dikenang sebagai guru killer atau guru cerewet sesuai dengan sikap, sifat yang aku perbuat selama ini. Seperti apa aku ingin dikenang, seperti itulah seharusnya perbuatan yang aku lakukan.
Untuk menjadi guru yang baik, dicintai, dirindukan bahkan dikenang tidaklah mudah. Tidak semua guru mampu melakukannya karena butuh kesabaran, nilai kecintaan, mencurahkan kasih sayang kepada peserta didik. Menjadi guru yang menginspirasi bukan mengintimidasi.Tugas guru bukan saja sekedar mentransfer ilmu pengetahuan namun harus mampu mentransfer nilai-nilai kebaikan, tentu guru menjadi penghantar impian-impian dan akan selalu menjadi teladan bagi peserta didik.
Saat masa pensiun tiba, tentu aku ingin dikenang sebagai guru yang baik. Kebahagiaan yang tidak terhingga bila terucap kata “ibu adalah guruku” dari mulut peserta didik sebagai pengakuan tentang keberadaanku yang pernah menjadi mungkin bagian terkecil dalam kehidupan mereka. Sebaliknya, melihat mereka sukses, akupun akan bangga mengatakan “mereka adalah anak-anakku” pernah mengisi hari-hariku, singgah sesaat dalam kehidupan singkatku. Dari mereka terkadang aku belajar memaknai hidup ini. Hidup yang harus dijalani tanpa mengeluh, butuh pengorbanan dan perjuangan untuk mencapai titik dimana akan ada kebahagiaan.
Ingin dikenang sebagai guru yang baik, maka berilah sebanyak mungkin kebaikan tanpa pamrih. Ingin dikenang sebagai guru yang sabar, penyayang dan lembut maka harus mulai dengan memberikan kasih sayang, mengajar dengan kelembutan dan berikan perhatian yang sangat mereka butuhkan. Begitu juga sebaliknya karena apa yang kita tanam itulah akan kita tuai nantinya.
Maka jadilah seorang guru yang dicintai ketika ada, dirindukan ketika tidak ada dan dikenang ketika tiada. Mari kita mengisi perjalanan hidup ini dengan memberi sebanyak- banyaknnya bukan menerima sebanyak-banyaknya.
Terima kasih atas pertanyaannya, memicu diri untuk muhasabah diri. Kita pasti pernah mendengar peribahasa ini “ siapa yang menanam, dia yang akan menuai ”. jika seseorang menanam kebaikan maka dia akan menuai kebaikan dan begitu juga sebaliknya jika kejelekan yang ditanam maka akan menuai hasil yang jelek pula.
“Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama” Ini juga salah satu pepatah yang erat kaitannya dengan pembahasan di atas. Artinya apa, bahwa orang baik meninggalkan nama / kenangan baik, orang jahat meninggalkan nama atau kenangan jahat.
Dalam sebuah pantun juga dikatakan: Ambillah kapas menjadi benang, ambillah benang menjadi kain, kalau kamu ingin dikenang, berbuat baiklah kepada orang lain.
Seperti apapun kita ingin dikenang, mulailah dari sekarang. Dan tentu kita semua berharap akan di kenang sebagai guru yang baik, tapi sudahkah sikap dan perilaku kita memberikan kebaikan pada mereka ? Jawabannya ada pada diri sendiri.
Semoga lelah kita lillah, membawa keberkahan dalam perjalanan hidup.