Kerang, Murahnya Hargamu, Mengubah Siswaku
Saat diminta untuk menuliskan tentang pengalaman yang paling berkesan selama mengajar, jujur sulit bagiku untuk mengungkapkannya. Bukan karena banyaknya pengalaman, namun sebaliknya. Menjadi guru jelas bukan cita-citaku. Dalam satu kesempatan ibuku pernah bertanya
“Nak, apakah dirimu tak ingin menjadi guru seperti ayahmu?” tanyanya padaku.
“Maaf bu, pekerjaan saat ini sangat menyenangkan, lagi pula diriku tak berbakat menjadi seorang guru”. Jawabku.
“Bukankah dengan menjadi seorang guru kamu akan menjadi orang yang bermanfaat?”
“Benar bu, hanya saja aku tidak memiliki bakatnya”
“Baiklah nak, jika memang itu pilihanmu, lakukanlah pekerjaanmu sekarang dengan rasa ikhlas tanpa memandang berapa kamu dibayar”
“Insyaallah bu”. Jawabku mengiyakan nasehatnya.
Namun setelah percakapan itu, sepertinya ibuku semakin gencar mengirimkan doa untukku. Doa yang hanya ia dan tuhan yang tau. Keinginannya agar aku menjadi guru baru Allah kabulkan saat ia telah tiada.
Kini profesi sebagai guru aku jalani sebagaimana mestinya, aku berharap ilmu yang aku punya dapat bermanfaat untuk orang lain seraya berharap Allah akan menjadikan amalku sebagai amal jariyah yang dapat menjadi penolong bagi ibuku di hari akhir kelak.
Latar belakangku yang tak terlalu mengerti dunia pendidikan awalnya membuatku kesulitan dalam mengajar. Perlahan tapi pasti aku mulai belajar mengenai cara mendidik yang baik dan benar. Mengingat segala pengalaman yang pernah aku dapatkan saat menuntut ilmu dulu. Seraya membayangkan para guruku dalam mengajar.
Cerita ini bermula hanya 2 minggu sebelum tulisan ini di buat. Awalnya aku bingung harus menulis pengalaman terbaik bagian mana. Karena pada dasarnya aku hanya setahun menjabat sebagai wali kelas. Setelah itu aku di minta fokus untuk mengelola lab. komputer, otomatis kedekatanku dengan siswa tak lagi seperti saat aku menjabat wali kelas dulu.
Teman sekamarku yang sangat suka makanan seafood mengingatkanku akan seorang anak yang setiap harinya selain pergi ke sekolah ia juga mencari uang untuk dapat bertahan hidup. Namanya Muhammad Foujar. Seketika aku menjumpai Foujar untuk memastikan cerita yang selama ini aku dengar dari siswa maupun guru. Cerita yang mengatakan sisi baik dan buruknya Foujar. Aku telah mengenalnya saat ia berada di kelas VII, tepatnya hampir 3 tahun lalu. Walaupun aku telah mengenalnya, tapi yang ku kenal hanya karakternya saja bukan hidupnya.
Untuk memastikan hal yang ku dengar tentangnya, aku pun menjumpainya. Saat ia sedang asik bermain, aku memanggilnya. ia pun datang sambil memberi salam
“Assalamualaikum pak” sambil mencium tanganku.
Sontak saja aku terkejut dengan sikapnya. sikapnya yang tak pernah ku temukan dalam dirinya 3 tahun lalu. Seketika aku pun menjawab salamnya
“Walaikumsalam Foujar”. Seraya terngiang sikapnya saat awal aku mengenalnya.
Di mata siswa aku adalah termasuk guru yang tegas dan disiplin. siswa/siswi yang tak patuh akan aturan sekolah akan selalu berefek dengan hukuman. Tentu saja saat aku memanggil Foujar siswa lain langsung menyangka aku akan menghukumnya, apalagi saat itu bajunya tak rapi & berpenampilan acak-acakan.
Setelah menjawab salam aku memintanya untuk merapikan pakaiannya terlebih dahulu, jika tidak aku sendiri yang akan merapikan pakaiannya. Ia berkilah bahwa bajunya tak bisa lagi di rapikan karena sudah sangat ketat & tak memiliki tali pinggang. Sehingga apabila bajunya di masukan ke dalam celana akan membuat ia malu di depan siswa lain, apalagi para siswi.
Sebagai guru, aku tak langsung mempercayainya. Banyak siswa yang beralasan sama sepertinya padahal itu hanya akal-akalan mereka saja. Namun Foujar meyakinkanku bahwa memang pakaiannya tak layak jika harus di masukkan ke dalam. Hingga ia memperlihatkan bahwa celananya tak lagi memiliki pengait, resleting celananya juga tak berfungsi dengan baik, celana yang sangat ketat sehingga ia menutupinya dengan bajunya yang dibiarkan keluar. Jelas ini membuatku sedih sambil memakluminya. tapi siswa lain yang melihatku membiarkan Foujar berkata
“Kenapa bapak gak cubit Foujar, kan baju Foujar keluar, sementara kami bapak cubit” katanya sambil di iyakan oleh siswa lainnya.
Aku hanya terdiam tak meresponnya, bukan aku tak mampu menjawabnya. Namun aku tak ingin menunjukkan kekurangan Foujar di depan teman-temannya, selain itu pikiranku juga tak karuan, memikirkan kenapa Foujar sesusah ini, apakah benar kondisinya seperti yang ku dengar selama ini.
Setelah itu aku membawa Foujar menjauh dari siswa lain. Agar tak ada yang tau apa yang ku inginkan darinya.
“Apa benar Foujar pulang sekolah bekerja mencari kerang?” tanyaku padanya.
“Benar pak” jawabnya
aku kembali bertanya
“Kerang yang bagaimana?”
lalu ia pun menjelaskan segalanya padaku. Baik bentuk, warna, ukuran dan juga harganya. Walaupun sedikit terbata-bata saat menjawab pertanyaanku dengan bahasa indonesia, jelas aku memahaminya. Ini karena Foujar dan siswa lain terbiasa berbicara dengan menggunakan bahasa daerah. Aku telah berkomitmen pada diri sendiri untuk tak menggunakan bahasa daerah pada siswa dengan tujuan untuk melatih kemampuan bahasa indonesia siswa dengan baik dan benar.
Mendengar penjelasannya aku pun tertarik dengan kerangnya. aku memesan 2 kg kerang untuk hari itu. Tapi dia menolak, karena hari itu ia tidak ke sungai untuk mencari kerang. Baru akan mencari lagi 2 hari kemudian tepatnya hari jumat. Aku tak masalah, namun aku membuat janji dengannya jika hari jumat ini dia pergi mencari kerang, aku memintanya untuk di antarkan langsung kerumah sebelum shalat ashar. Ia pun mengiyakan permintaanku.
Hari berganti hari hingga 1 minggu kemudian aku berjumpa lagi dengannya.
“Kenapa Foujar tidak mengantarkan kerang kerumah saya?” tanyaku“
“Ada saya kerumah pak, saya ucap salam gak ada yang jawab, jadi saya langsung pulang” jawabnya.
“Jam berapa ?” tanyaku untuk memastikan.
“Jam 3 pak”. dia jawab dengan yakin.
“Maafkan saya Foujar, saat itu saya memang ada dirumah, sedang memasak di belakang, jadinya saya tidak dengar saat Foujar mengucapsalam” jawabku dengan penuh rasa bersalah.
“Iya pak, tidak apa-apa” jawabnya dengan polos
Aku pun memesan ulang kerang padanya untuk sore itu. lagi-lagi aku memintanya datang sebelum ashar karena aku hendak ke Idi.
Tak ku sangka ternyata lagi-lagi ia menepati janjinya. Datang sesuai dengan waktu yang ku janjikan. Setelah mengucapkan salam ia langsung menyalamiku lalu menyerahkan kerang yang aku pesan. Aku serahkan uang Rp. 20.000 untuknya. Seraya ku katakan Rp. 10.000 untuk janji yang di tepatinya, Rp. 10.000 untuk 2 kg kerang yang aku pesan. ya harganya hanya Rp.10.000 untuk 2 kg. Sangat murah bukan ? ya, itulah harga yang ia dapat dari hasil kerja kerasnya setiap hari. Kulitnya yang hitam legam, kulit tangan dan kakinya pecah-pecah demi menjalani kerasnya hidup. Lalu ia pun pamit dan tak lupa menyalamiku sambil mengucap salam.
Ketahuilah, 3 tahun lalu saat Foujar berada di kelas VII-6, ia sangatlah “aktif” di kelas. Membuat keributan, tak mengerjakan tugas, suka mencela teman maupun guru dan sering sekali tak bisa di atur. Banyak guru yang mengeluhkan sikapnya, bahkan termasuk diriku. Untuk perhitungan dasar pun ia tak bisa. Banyaknya laporan yang masuk membuat Wali kelasnya kewalahan menanganinya. Surat panggilan orang tua pun tak kunjung di penuhi. Dia tak peduli akan bullying yang kadang sering kali siswa lain sematkan padanya.
Sebagai seorang guru tentu aku tau karakter siswaku. Aku perhatikan ada sisi positif yang aku temukan dalam dirinya. Setiap ku berikan PR sering kali ia tak mengerjakannya, Kalau pun mengerjakan ia menjawab dengan asal. Sanksi yang kuberikan tak pernah membuatnya berubah walaupun sanksi tersebut semakin lama semakin berat. Ia tak pernah menegoku akan sanksi yang ku berikan padanya. Ia jalani semua dengan senang tanpa menghiraukan kicauan teman-temannya.
Terkadang aku sering memberi latihan soal kepada siswaku untuk mengukur kemapuan mereka seraya melihat siapa saja yang suka mencontek. Aku membiarkan jika ada yang mencontek untuk mengetahui karakter & kejujuran siswaku. Di antara banyaknya siswa yang bandel, hanya Foujar yang tidak mencontek. Ia tak peduli apapun hasilnya, baginya hasil kerja keras sendiri jauh lebih baik. Walaupun tak ada satu soalpun yang benar dijawabnya, bahkan sering sekali hasil jawabannya ngawur alias asal-asalan.
Saat sidang kenaikan kelas namanya selalu terpampang sebagai siswa yang bermasalah. Awalnya banyak guru yang tak bersedia memberikan nilai yang cukup untuknya, sikapnya yang tak baik dan tingkat kehadirannya yang rendah tentu saja membuatnya bermasalah. Namun semua luluh saat kepala sekolah mengatakan sisi baiknya. Sehingga semua sepakat untuk memberikan kesempatan padanya.
Profesiku sebagai guru tentunya menilai siswa tak hanya dari kemampuan saja, bagiku karakter islami siswa adalah segalanya. Aku terpana saat berjumpa dengan Foujar akhir-akhir ini. Sikapnya berubah drastis, berbanding terbalik saat awal aku mengenalnya. Karena penasaran akan sikapnya akhirnya aku pun memanggilnya untuk mencari informasi mengenai kehidupannya.
Saat ujian akhir madrasah selesai aku memintanya ke ruanganku. Menanyakan kehidupannya dan ternyata apa yang ku dengar tentangnya selama ini masih jauh dari kenyataan.
Foujar menceritakan bahwa ia bukanlah anak yatim piatu. Ayah dan ibunya masih hidup, hanya saja tak lagi hidup dengannya. Mereka memilih berpisah. Ayah Foujar telah menikah lagi dan kini tinggal di Kuta Binjai sementara Ibu Foujar juga telah menikah lagi dan kini hidup di Peureulak. Sedangkan Foujar memilih hidup dengan nenek dari ibunya di Simpang Ulim tepatnya Desa Lampoh Rayeuk. Ia telah tinggal bersama neneknya sejak berusia 10 tahun. Ia tak pernah mengerti kenapa orang tuanya berpisah. Foujar memiliki adik laki-laki yang kini hidup bersama nenek dari ayahnya.
Keluarga yang terpisah-pisah membuat Foujar tumbuh besar dalam keadaan hilang arah. Ia memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, tak bergantung pada neneknya yang hanya bekerja sebagai buruh sawah. Setiap hari waktunya ia habiskan untuk menuntut ilmu sembari bekerja. Jika kebutuhan keuangannya sulit, ia memilih untuk tidak hadir ke sekolah. Memilih mencari kerang untuk mencukupi kebutuhan ia dan neneknya. Kulitnya yang hitam legam disebabkan oleh jilatan matahari saat ia mencari kerang. Jika musim hujan tiba ia tak dapat ke sungai. Foujar tak pernah mendapatkan uang jajan dari kedua orang tuanya. Untuk menjenguknya saja mereka enggan. Walaupun ayah dan ibu Foujar sering melupakan Foujar, ia tak pernah dendam pada mereka. Jika memiliki uang lebih Foujar sempatkan diri untuk berkunjung kerumah ayah dan ibunya.
Dalam sehari Foujar menghabiskan waktu 3-4 jam untuk mencari kerang. Jumlah yang di dapat paling banyak 15 kg dan paling sedikit hanya 2 kg. Harga jual yang tergolong murah yakni hanya Rp. 5000 /kg di dapat Foujar dari para pengepul di pasar simpang ulim.
“Kenapa Foujar bisa berubah seperti ini, apakah ada orang lain yang merubah Foujar?” Tanyaku padanya
Dengan tenang dan polos dia menjawab
“Saya sudah besar pak, sudah dapat membedakan mana yang baik dan tidak baik. Para guru tak hentinya menasehati saya sehingga saya malu akan sikap saya selama ini”.
Mendengar jawabannya aku pun terpana. Tak ku sangka ia banyak belajar dari nasehat para guru. Walaupun saat mendengar ia seperti tak menghiraukannya, namun setelah itu ia resapi nasehat tersebut sebagai pelajaran bagi hidupnya.
Foujar, hari ini kau mengajarkan kami arti dari sebuah perjuangan. Arti mencintai sesungguhnya, arti sebuah kejujuran, arti sebuah janji, arti sebuah nasehat, bahkan arti hidup sesungguhnya. Padamu aku banyak belajar bahwa menilai kenakalan siswa tak hanya dari satu sisi saja.
Perubahanmu akan ku jadikan pelajaran untuk siswa lainnya. Pengalamanku yang sedikit dalam mendidik siswa sangat berkesan dengan kehadiranmu. Tentangmu akan ku abadikan dalam tulisan ini. Aku berjanji padamu jika tulisan ini selesai akan ku kirimkan untukmu.
Tahukah kamu Foujar, jika saat ini aku berada pada posisimu, sungguh aku tak mampu. Allah memberikan cobaan hanya kepada orang yang tepat. Allah mengujimu atas kehidupanmu yang sekarang karena Allah tahu kau mampu melewatinya. Jadilah pribadi yang lebih baik.
Aku hanya dapat berdoa pada Allah agar menjagamu, menjadikanmu manusia yang lebih baik. Pesanku Jangan pernah berhenti menuntut ilmu baik itu ilmu dunia maupun ilmu akhirat. Karena dengan ilmu kau dapat merubah hidupmu menjadi lebih baik. Datanglah pada kami para gurumu saat kau merasa kesulitan. Pintu rumah kami akan selalu terbuka untukmu. Terima kasih Foujar, terima kasih.
Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul “Secuil Kisah Semesta Cinta” pada tahun 2022
Luar biasa.
Pingback: MTsN 1 Aceh Timur Salurkan Sejumlah Paket Sembako Ramadhan Bagi Siswa Kurang Mampu – MTsN 1 Aceh Timur