Taskia

LANGKAH kakiku ku percepat, şebab hari ini ada jam pertama jatah aku mengajar di kelas. Sambil kubuka buku kehadiran siswa, kulihat nama nama muridku, dan sebuah nama Taskia mengganjal di hatiku. Wajah rupa yang biasa, perawakan kecil, dengan kulit kuning kecokelatan. Bibir kecilnya menunjukkan seolah dia masih sangat muda dibandingkan teman-teman sekelasnya.

Aku hanya diam memandangi gadis kecil itu. Kenapa ketertarikanku pada Taskia? Aku pun bingung dalam hati, tetapi ada rasa penasaran dalam hatiku. Hmm, gadis itu, terlihat lembut, tetapi cenderung pendiam. Namun saat itu, pernah ku terkejut dibuatnya.

“Taskia, coba kamu baca soal dan jawaban nomor 3 yang sudah kamu kerjakan!”

“Iya, Bu,” jawabnya, dan dia melanjutkan perkataannya, “Se-se- bu-butkan be-berapa pe-pe-nya-kit pada orrgaan sistem ekssspreeessi  maanuuusia?  lyaa,  aku  terkejut,  dia  terbata-bata membaca. Saat kutunjuk untuk membacakan hasil tugasnya. Hatiku berkata, “Ya Allah, ternyata masih ada lagi siswa tahun ini di kelas 8 yang kurang bisa membaca.”

Wajahku mulai mengernyit seperti mulai menua, huaa, aku emang sudah tua dibanding mahasiswa dan para fresh graduated lainnya. Ya iyalah, sekarang usiaku kan sudah menjelang 36 tahun, walau kadang ada aja temen yang bilang. “Kamu tuh masih muda loh, masih kayak anak usia 29 tahun.”

“Ya elah, itu temen bener-bener dah, masak usia 29 masih dibilang ‘anak’. Hmmm… sepertinya modus. Karena ada maunya kali ya (hehehe, modus bilang muda biar dapat imbalan). SeIama aku menjadi guru di sekolah ini, tiap tahun selalu saja kutemui murid yang masih terbata membaca, bahkan sulit mengenal huruf. Apalagi berhitung dalam mengoperasikan matematika. Padahal sekolah tempatku mengajar saat ini setingkat dengan SMP. Bukan sekolah dasar loh. Wah, dalam hatiku. Aku harus mulai dari nol lagi.

Inilah  tugas  guru  yang  sesungguhnya,  menciptakan kepintaran dari kebodohan. Aku rasa guru memiliki tugas yang sangat penting. Mencerdaskan bangsa dari hari ke hari. Walau kadang tidak mudah loh, melakukan itu semua. Bahkan masyarakat banyak yang mencemooh dan menyepelekan tugas guru. Apalagi kalau gurunya punya masalah konflik pribadi dalam keluarga atau rumah tangga. Maka sang guru pun akan kehilangan marwah dan wibawa. Tetapi bagiku, itu semua tantangan. Bahwa hidup ini hanyalah ujian. Mulai dari lahir hingga sudah setua ini.

Tak pernah ku sesali pekerjaan ini sebagai guru. Biarlah mereka berkata apa, yang penting niatku tulus dan ikhlas hanya untuk mencerdaskan bangsa. Aku sih pernah mendapat sindiran, kalau aku tuh enggak kompeten jadi guru lah, enggak bisa mendisiplinkan  siswa  saat  belajar lah.  Ya, aku mau bilang  apa. Semua orang bisa menilai apa pun tentang orang lain, dan itu hak masing-masing orang.

Tapi yang harus kita ketahui adalah semua orang punya kelebihan dan kekurangan. Kan kita manusia biasa, tempatnya salah dan lupa. Jadi, itu mah biasa. Namun kadang orang-orang hanya memandang sebelah mata, ibarat kata, semut di seberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tidak tampak. Kita jarang sekali mau mengakui kelebihan orang lain. Apa dia kelebihan dari segi keahlian bakat atau skill lainnya. Kita cenderung terus selalu mengingat kesalahan  orang lain dan lupa  akan kebaikan orang tersebut.

Kembali lagi ke gadis kecil itu, Taskia, ku sadari ketertarikanku padanya karena dia selalu tekun di saat kelas pelajaran IPA berlangsung. Rajin pula dia menyapu laboratorium IPA. Wajah lugunya juga membuat aku bertanya-tanya, apakah dia punya masalah di rumahnya atau di keluarganya? Apakah dia tergolong anak yang kurang mampu dari segi ekonomi? Apakah dia punya keterbelakangan mental? Penuh tanda tanya di hatiku. Sepertinya aku mau gentayangan ini saking penasarannya. Dan ku perhatikan kembali, di saat teman sekelasnya sibuk mengoceh ala anak ABG (anak baru gede), Taskia asyik diam saja memperhatikan sekelilingnya seolah-olah dia hanya penonton. Seakan dia malu akan dirinya sendiri.

Aku jadi teringat akan masa lalu saat sekolah di bangku SD. Nama sekolahku dulu SD Angkasa 1 Lanud Medan. Ya, sekolahku itu milik angkatan udara di Medan. Sekolahku jauh dari rumah dan harus menaiki kendaraan bermotor. Bersebelahan dengan sekolahku dulu ada bandara pesawat, namanya bandara Polonia Medan. Setiap aku berangkat pagi hari menuju sekolah dengan naik ‘trans’ (sebutan angkutan umum yang ku naiki) selalu kupandangi pesawat  yg  sedang  landing  ataupun  mau  take  off.  Bahkan  aku penasaran kenapa bunyi pesawat sangat besar di telinga.

Nginggg… swwwtttt… begitulah kira-kira bunyinya. Selama enam tahun aku duduk di bangku sekolah dasar, membuat aku sudah   terbiasa   melihat   pemandangan   dan situasi bandara pesawat.

Terkadang bunyi bising, tetapi juga ada kesenangan melihat sekeliling di bandara. Maklumlah, anak-anak, senang melihat pesawat terbang. Tiap pagi aku melihat tentara yang berjaga mengenakan seragam biru. Dan terkadang melihat pasukan tentara yang sedang latihan. Tak pernah terbayang olehku, bahwa nanti setelah menjadi dewasa aku akan jarang atau tak akan pernah lagi melihat pemandangan seperti ini. Karena nyatanya sekarang aku sudah berada di Aceh. Daerah yang banyak persawahan dan kebun ladang.

Dan berjodoh dengan orang Aceh. “Hmm… jodoh seseorang kita tak pernah tau,” desir hatiku. Dan aku teringat kembali, saat sekolah dulu, aku termasuk anak yang pendiam di kelas. Aku lebih suka menonton  teman-temanku  bercerita  daripada  berceloteh.  “Heiii, aku ada kotak pensil baru loh, kemarin belinya di mal dekat rumahku, cantik, kan?” “lya, cantik, memang malnya dekat rumahmu ada berapa? Aku mau ke sanalah,” celotehan anak-anak SD yang suka pamer dan gak mau kalah saing dengan temannya. Begitulah anak anak. Dulu, aku tidak suka dimarahi saat di sekolah, ataupun ditakut takuti oleh guruku.

Kenapa, ya, guru jaman dulu suka menakut-nakuti muridnya? Melihat guru bagai melihat hantu Jepang dalam film horor, The Ring. Jadi aku sering spot jantung dibuatnya. “Dag dig dug dear… oalaa… macam mau copot ini jantung.” Kenapa sih saat dulu aku di bangku SD harus ditakut-takuti. Padahal aku anaknya gak penakut sih sebenarnya, tetapi kalau ditakut-takuti terus, aku jadi jantungan begitu. Nah, di sinilah aku membayangkan diriku kalau aku mirip seperti Taskia.

Sewaktu aku masih kecil dan masih duduk di bangku sekolah dasar, aku suka guru yg sering senyum serta lembut. Aku juga suka guru yg pandai bercerita pengalamannya ataupun cerita dongeng.

Seperti Bapak Batubara. Beliau seorang nasrani yang bersuku batak. Beliau adalah guru favoritku, karena kelembutannya dan hobinya yang suka bercerita. Walau semua guru tak seperti beliau, aku masih harus dag dig dug dear, menjadi murid SD (SekoIah Dasar) sebab di kelasku ada beberapa guru Iain lagi yang mengajar dengan kekasarannya.

Guru, kuharap kata tersebut menjadi hal yang menarik bukan malah menjadi hal yang ditakuti oleh murid. Kalau aku menjadi seorang murid, aku menyukai guru yang bisa membuat tersenyum dan bahagia. Aku gak suka tertekan. Apalagi dipaksa. Tetapi bukan berarti terlalu bebas dan melupakan yang namanya displin waktu dan ilmu. Sekarang kata guru melekat erat di pundakku. Ya, aku sekarang menjadi seorang guru PNS di Kementerian Agama.

Aku ingin menjadi guru yang kreatif dan inovatif. Aku juga ingin membuat bahagia murid-muridku. Perasaanku sangat senang melihat senyuman dari bibir mereka, dan sering ku bertanya pada mereka? Apakah kalian bahagia, murid- muridku? Apakah kalian senang saat belajar? Walau ada yang menjawab dengan main-main dan ada pula yang menjawab dengan serius tak jadi masalah bagiku. Walau tak mudah untuk membuat mereka senang dengan pelajaranku, dengan rumus-rumus, dan kata-kata asing yang tak lazim mereka dengar. Ya, walaupun mereka akan tertawa memandangku, karena aku takbisa berbicara yang baik dan fasih dalam bahasa sehari-hari.

Mereka bahasa Aceh. Niatku mencerdaskan bangsa, dan ikhlas beramal (seperti moto logo kementerian  agama).  Sampai terkadang aku harus repot setiap mengajar karena membawa laptop dan infokus ke kelas ataupun ke laboratorium IPA. Demi apa itu semua? Demi kamu, semua murid-muridku. Ku berharap, kelak, kamu semua menjadi orang yang berakhlak mulia, dan berhasil di dunia dan  akhirat. Penerus generasi bangsa, yang tidak berkhianat dan menipu bangsa dan agama.

Dan Taskia, belakangan ini sekarang dia sering tak muncul di kelas. Beberapa hari aku kembali mengajar di kelas, Taskia tak kelihatan. Padahal aku ingin sekali mengorek, ingin tahu beberapa hal tentang kehidupannya. Taskia, putri kecilku yang bukan hasil dari ku melahirkannya dan bukan ku besarkan sendiri dalam asuhanku. Kamu malah membuat aku, guru İPA- mu, semakin penasaran.

Apakah kamu baik-baik saja sekarang? Atau kamu akan terlepas dari lingkaran sekolah dan mundur secara cepat dan menghilang. Apakah kamu akan bernasib sama dengan murid lain, yang menyerah karena keadaan ekonomi dan keluarga yang berantakan. Atau kamu saat ini hanya sekadar berhenti menarik napas kelelahan dan akan melanjutkan perjuangan. Ku berdoa, semoga Taskia baik-baik saja dan segera kembali bersekolah.

Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul “Secuil Kisah Semesta Cinta” pada tahun 2022 lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *