Usia Hanyalah Angka

Ide menulis ini telah lama aku pikirkan, aku menargetkan tayang paling telat sehari sebelum reakreditasi madrasah. Tapi apalah daya, aku hanya bisa merencanakan namun Allah berkendak lain. Tulisan ini bukan sekedar untuk memuji seseorang, melainkan menjadi penyemangat bagi diriku sendiri saat nanti usiaku tak lagi muda. Selain itu guruku atau lebih tepatnya dosenku dulu selalu mengajarkan kami untuk menulis/menceritakan kebaikan orang lain agar menjadi penyemangat kebaikan kepada orang yang membaca/mendengarnya.

Saat sedang istirahat setelah menjalani aktivitas yang melelahkan, seketika muncul sebuah pesan Whatsapp:
Assalamualaikum, mohon maaf mengganggu jam istirahat pak firman, tlg buatkan Vidio cara membuat power point”.

Aku tak menyangka, permintaannya beberapa waktu lalu padaku untuk di ajarkan komputer ternyata seserius ini. Usianya tak lagi muda, tapi semangat belajarnya sungguh besar. Lama kami berdiskusi tentang cara mengajar yang efektif dan efisien. Aku banyak belajar darinya karena ia memiliki segudang pengalaman. Sementara aku hanya anak kemarin sore yang baru saja belajar cara mengajar. Sering aku perhatikan saat ada alumni yang datang ke madrasah maka mereka selalu menyalami guru. Dari sekian banyak guru yang di salami, beliaulah yang paling sering mendoakan alumni tersebut seraya menyalaminya. Hal kecil yang bagiku bermakna besar, dimana selain doa orang tua, doa “gurulah” yang cepat di ijabah oleh Allah. Selain itu aku juga melihat kesungguhannya dalam mengikuti perkembangan zaman. Apalagi kepala madrasah selalu menuntut kami untuk menguasai teknologi pembelajaran terkini.

Kini ia telah berhasil membuat sebuah slide power point yang di persiapkan jika sewaktu-waktu dirinya di supervisi oleh asesor akreditasi dan juga untuk keperluan mengajar semester baru nanti. Sehingga tak lagi muncul kata-kata “yang muda yang berkarya”. Kata-kata yang seolah usia tua tak bisa berkarya. Padahal semakin tua usia seseorang, harusnya semakin besar pengalamannya untuk terus berkarya.

Selain dirinya, aku juga salut terhadap guru yang begitu rajin menulis pada website madrasah. Ia yang selalu menuntutku untuk mengkoreksi tulisannya, padahal karyanya jelas jauh di atasku, apalagi beliau baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di usia yang tak lagi muda. Aku bukan guru bahasa indonesia yang pintar mengoreksi kesalahan dalam menulis. Jika di koreksi maka masih banyak kesalahan yang ditemui dalam tulisanku. Tapi karenanya aku memaksakan diri untuk belajar agar lebih baik dan tak membuatnya kecewa. Sifat yang bisa saja membuatnya berhenti menulis.

Kini ia sedang fokus menjalankan ibadahnya sehingga laman goresan pena tak lagi hidup. Aku berharap selepasnya menunaikan rukun islam yang ke-5 nanti semakin banyak tulisannya yang tampil di laman goresan pena. Tak hanya padanya, aku juga berharap pada guru-guru lain. Saat ini dari 59 guru yang ada di madrasahku, sebanyak 10 orang guru (17%)  plus 1 orang tenaga pendidikan yang pernah menulis pada website ini. Angka 17% memang masih terlihat kecil, tapi bukan sesuatu yang buruk jika dibandingkan dengan madrasah-madrasah lainnya. Bahkan tahun ini sebanyak 6 buku telah berhasil kami terbitkan.

Lain lagi dengan guru yang satu ini. Langsung membeli laptop terkini bernilai belasan juta rupiah hanya karena melihat teman seangkatannya terus bergerak maju. Masa kerjanya hanya berkisar 8 tahun lagi. Seolah ia tak ingin tertinggal dari teman-temannya. Para guru senior lainnya juga ramai-ramai memintaku untuk memperbaiki laptopnya, mulai dari ganti baterai, keyboard, charger, bahkan install ulang agar laptopnya dapat digunakan lagi.

Diatas adalah beberapa contoh bahwa tak ada kata terlambat untuk belajar. Saat ini sekitar 17 atau 29% guru di sekolahku dapat diklasifikasikan sebagai guru senior (kelahiran dibawah tahun 1980). 12 diantaranya adalah peserta aktif kursus komputer yang aku ajarkan. Kelas tersebut ada atas inisiatif mereka sendiri. Bahkan aku sering di desak untuk rutin mengajarkannya. Terkadang mereka telat pulang kerumah hanya untuk menyelesaikan kursusnya.

Kini kursus tersebut sempat terhenti karena ada agenda besar yang menanti kerjakeras dan kerjasama kami. Awal semester baru nanti bahkan sudah ada yang memintaku secara khusus untuk mengajarinya.

Usia hanyalah angka”, ya itulah yang selalu kami sematkan kepada guru-guru senior yang memiliki tekad besar untuk berubah. Walau ada pepatah yang mengatakan “Belajar di waktu muda bagaikan mengukir di atas batu. Belajar di waktu tua bagai menulis di atas air” aku rasa tak pantas di sematkan pada mereka. Walau tak lagi cepat dalam menangkap apa yang aku ajarkan, setidaknya mereka tidak diam di tempat. Terus melangkah maju walau bergerak tak secepat dulu saat mereka berada di usia muda.

Inilah gambaran guru di madrasahku, tak kenal usia untuk terus belajar. Lantas bagaimana dengan guru senior di sekolahmu ? Silahkan tuliskan di kolom komentar dibawah ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *