Takdir yang Indah

HARI ini adalah hari pertama aku mengajar di salah satu madrasah ibtidaiyah. Sebelum memulai pelajaran, pertama kali aku memperkenalkan diri terlebih dahulu. Hari itu aku merupakan guru baru bagi mereka. Kenyataannya aku bukanlah seorang guru baru, namun aku adalah seorang guru di MTsN 1 Aceh Timur. Setelah lulus sebagai guru bersertifikasi, aku harus mencari madrasah yang memberikan jam mengajar untuk mencukupi beban mengajarku, yaitu sebanyak 24 jam pelajaran karena di madrasah awal ku mengajar, tidak dapat terpenuhi jam mengajar tersebut.

Saat perkenalan tersebut, aku memperkenalkan nama, tempat tanggal lahir, dan alamatku. Namun di antara mereka, ada seorang siswa yang bernama Afkar menanyakan, “Bu, cita-cita Ibu ingin menjadi apa?” Afkar merupakan siswa kelas V (lima) dan dia termasuk siswa yang aktif dan agak heboh di antara teman-temannya. Mendengarkan pertanyaan tersebut, aku merasa tergelitik. Pasalnya, pertanyaan tersebut biasanya ditanyakan untuk teman-teman sebayanya atau  saudara yang masih menempuh pendidikan.

Namun, aku tidak menyanggah pertanyaan itu karena mereka belum memahaminya. Berbeda dengan mereka yang ditingkat SMP dan SMA, mereka tentu sudah memahaminya karena mereka paham akan profesi yang sedang digeluti oleh pengajarnya. Mungkin pertanyaan yang timbul dalam pikiran mereka apakah profesiku sekarang merupakan cita-citaku?

Tetap kujawab keingintahuan mereka dengan penuh antusias. “Dulu, ketika masih menempuh pendidikan di SD dan MTsN, Ibu bercita-cita ingin menjadi seorang yang bekerja di bagian kesehatan (dokter, perawat, bidan, dan lain-lain). Kenyataannya, sekarang Ibu sebagai guru Bahasa Arab. Dapat disimpulkan, bahwasanya cita-cita dulu tidak tercapai, dan menjadi pertanyaan kenapa?

Waktu itu, sekitar 18 tahun yang lalu, masih jelas di ingatanku, aku dan kakakku menempuh pendidikan di kelas dan jenjang yang sama karena perbedaan usiaku dan kakak hanya beda setahun, lalu orang tua kami memutuskan kami sekolah bersamaan. Kami mendaftar sebagai siswa di MA Ulumul Qur’an atau lebih terkenal dengan pesantren modern Bustanul Ulum Langsa. Dan tentunya melanjutkan belajar di sana bukanlah keinginanku, melainkan keinginan orang tua, menjadi anak yang patuh tentu tidak berani membantah keinginan orang tua.

Masih dapat ku bayangkan ketika itu, bagaimana hatiku sedih karena tidak berjumpa lagi dengan sahabat-sahabatku di MTsN dulu dan kami juga sudah berjanji akan melanjutkan sekolah di tempat yang sama. Dan aku juga akan berpisah dengan orang tuaku pastinya aku akan hidup mandiri dalam menghabiskan hari-hariku di pesantren. Tapi aku tidak merasa kesepian, karena ada kakakku yang sama-sama senasib dan seperjuangan denganku.

Untuk mendaftar ulang diperlukan beberapa berkas termasuk ijazah berleges, tidak disangka yang terbawa bukanlah yang berleges. Entah bagaimana perasaanku waktu itu campur aduk, khawatir tidak terima sebagai santri di situ. Dan Alhamdulillah setelah panitia bermusyawarah akhirnya memberikan kesempatan kepada kami besok atau lusa melengkapinya kembali. Lusanya, kami kembali menyerahkan berkas yang sudah lengkap, dan kami baru diperbolehkan memasuki asrama. Kami memilih Asrama Safiatuddin untuk kami tempati, di dalam kamar ada 24 santriwati campuran tsanawiyah dan aliyah. Tentunya banyak teman untuk kami berkeluh kesah, berbagi pengalaman, dan berbagi ilmu.

Keesokan harinya, aku berjumpa dengan Icut (teman sekelasku di MTsN, waktu itu kami hanya teman biasa, sekarang dia sahabatku). Terjadilah percakapan singkat antara kami.

“Eh kalian kemarin ke mana? Kami udah dibagikan kelas lho, kami di kelas I-C,” kata icut.

“Kami ketinggalan fotokopi ijazah leges, Cut, jadi kami pulang,” kataku.

“Jadi gimana nih, kami masuk kelas mana??” lanjutku.

“Kita lapor Ustazah Mariani Hasan aja, karena ustazah itu yang ngurus bagian itu,” kata Icut.

“Oke sip. Kawanin kami, yok,” jawabku.

Akhirnya kami mencari Ustazah Mariani Hasan, tak disangka ternyata ustazah pun sudah pulang kampung dan tidak diketahui kapan ustazah kembali ke Ma’had (pesantren), maka pupuslah harapan kami.

Hari Senin, waktunya kami memasuki kelas untuk belajar. Pada saat itu aku sedang mengenakan seragam sekolah, tiba-tiba datang kakakku yang baru kembali dari dapur untuk mengambil sarapan pagi.

“Dekna (sebutan untukku), kita kan belum ada kelas, gimana kalau kita masuk kelas I MAK aja? Di kelas itu perlu banyak siswa,” kata kakakku.

“Memang kelas I MAK itu apa bedanya dengan kelas si Icut?” tanyaku.

“Dengar-dengar sih bedanya kalau di MAK banyak agamanya, kita masuk aja kelas itu, Ustazah Mariani juga belum balek, jadi gak mungkinkan kita masuk sembarangan kelas,” jawab kakakku.

Setelah kupikir-pikir akhirnya aku pun menyetujuinya. Dan aku juga mengajak icut untuk ikut bersamaku. Dia pun memundurkan diri dari kelas MAU I-C dan mengikutiku jejakku belajar di kelas MAK.

Di MUQ (Madrasah Ulumul Qur’an) untuk tingkat aliyah ada jurusan  MAU dan  MAK.  MAU (Madrasah Aliyah Umum) terdapat pelajaran seperti MA lainnya, sedangkan MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) terdapat banyak pelajaran agama, mencakup Nahwu, Sharaf, Balaghah, Muthala’ah, Ulumul Hadits, Ushul Fikih, Bahasa Arab, Akidah Akhlak, Qur’an Hadis, Fikih, SKI. Untuk pelajaran umum hanya ada Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Sosiologi, dan Kesenian. Buku paket pelajaran untuk pelajaran agama dalam bentuk Bahasa Arab kecuali buku SKI.

Hari pertama belajar di kelas MAK, sungguh aku sangat terkejut ketika melihat pelajaran-pelajaran yang dituliskan oleh wali kelas di papan tulis. Ada beberapa pelajaran yang tak pernah ku ketahui, yang ku tahu hanya pelajaran yang pernah kujumpai di MTsN dulu. Bagi mereka yang lanjutan Tsanawiyah di MUQ tidak asing lagi akan pelajaran itu. Atau dapat dikatakan mereka memilih jurusan MAK karena keinginan  mereka untuk menjadi  seorang  yang  perdalam ilmu agama dengan menelaah kitab-kitab Arab, ahli Lughah (ahli bahasa Arab) dan ingin mencari ilmu di negeri Arab seperti Mesir dan lain sebagainya.

Berbeda denganku yang hanya anak baru (sebutan untuk kami yang baru masuk Mah’ad)  apa tujuanku ke depan nanti sungguh tidak ada kejelasan lagi. Ditambah lagi dengan sifat pengecut (tidak percaya diri, tidak berani untuk bertindak, dan jenisnya) yang ku miiki, seharusnya aku mencari informasi terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu, tetapi aku hanya pasrah terhadap keadaan.

Pernah aku berkeluh kesah dengan kakak leting yang sekamar denganku. Aku menyampaikan masalah yang menjadi bebanku, banyak dari mereka menanggapi. “Jalani aja, Dik, nanti pasti terbiasa.” Dan ada juga yang mengatakan, “Anak MAK itu adalah jantung hati MUQ.” MUQ itu terkenal karena ada MAK, lulusan dari MAK banyak yang sudah menjadi orang-orang hebat. Pernah juga aku menyampaikannya sama orang tuaku, dengan perasaan sedih dan rasanya aku ingin keluar dari Ma’had, tetapi ibuku tetap menasihatiku dan memohon kepadaku untuk bertahan di MAK, karena ibuku ingin aku memperdalami ilmu agama setidaknya aku dapat menguasai bahasa Arab.

Ingin ku utarakan bahwa cita-citaku ingin menjadi orang yang di bagian kesehatan, jika aku tetap di sini sungguh nihil akan cita-citaku, tetapi perasaan itu kututup rapat karena rasa baktiku kepada orang tua. Aku memutuskan tetap bertahan di MAK walaupun sangat sulit bagiku untuk memahami pelajaran yang ku pelajari, karena buku paket yang kami pelajari dalam bentuk Bahasa Arab. Dan kebanyakan guru yang mengajar juga menggunakan bahasa Arab.

Lain halnya dengan kakakku, dia sangat santai dalam menjalani hari-hari di Ma’had, tidak terlalu dijadikan beban hidup walaupun sebenarnya senasib denganku. Dia orang yang mudah bergaul, maka banyak teman untuk dia berbagi cerita sehingga beban yang dirasakan mudah hilang. Sangat berbeda denganku, aku adalah pribadi yang pendiam, banyak hal yang kupendam sendiri sehingga menjadi beban untukku.

Hari demi hari ku lalui hingga sampailah waktu ujian semester 1. Aku mengikutinya dengan serius dan menjawab soal-soal yang diujiankan semampuku, tetapi banyak juga yang tak ku ketahui karena soal dalam bentuk bahasa Arab. Tiba waktunya pembagian rapor, aku sangat khawatir akan nilai yang kudapat. Ketika aku membuka rapor, aku sangat terkejut, aku mendapat peringkat ke-3 dari bawah alias peringkat 32 dari 35 siswa. Memang sangat wajar aku mendapat rangking itu karena kisahku tadi sebagai anak baru yang tidak tahu menau tentang pelajaran-pelajaran yang ku pelajari. Aku merasakan maludengan kawan-kawanku yang satu kelas, kebanyakan mereka itu orang-orang pintar, juara umum juga terdapat di kelas kami. Karena perasaan malu itulah, akhirnya aku mencoba mencari kekuranganku dan ketidaktahuanku terhadap pelajaran-pelajaran yang ku pelajari.

Belajar pada semester 2, sedikitnya aku sudah memahami pelajaran yang susah bagiku, karena aku mulai terbuka dengan kakak leting di kamar, dan meminta mereka mengajariku. Kebetulan di kamarku banyak kakak kelas MAK, dan yang sangat terkesan bagiku adalah Kak Nisrina, dia bukanlah anak MAK, melainkan III IPA-1. Aku banyak belajar dari cara dia belajar, dia pribadi yang baik, rajin, dan salihah. Dia orang yang sangat pintar bagiku, aku sangat kagum pada dia, aku sangat sering membahas tugas pelajaran dengan dia, dia tidak pernah enggan untuk mengajariku. Semoga Allah membalas kebaikan dia.

Dan dengan kawan-kawan sekelasku, aku juga sudah memberanikan diri untuk bertanya tentang apa yang belum ku pahami. Mereka yang baik hati terus mengajariku dan menyemangatiku untuk terus belajar. Hingga akhirnya pada pembagian rapor semester 2, aku mendapat rangking 25, sungguh itu sebuah kemajuan yang luar biasa bagiku, dan aku sangat merasa senang.

Tiba saatnya di kelas II MAK, kami berpindah ke kamar sebelahnya karena di kamar kami tempati dulu banyak kakak kelas III,  mereka  sudah  meninggalkan MUQ  dan melanjutkan jenjang pendidikan  selanjutnya.Di  kamar tersebut banyak teman yang sebaya kami campuran MAK dan MAU, anak MAU sudah dibagi menjadi IPA dan IPS. Di sini tentunya bertambah pengalaman baru dalam menghadapi bermacam karakter teman, ada yang baik, lucu, usil dan sebagainya. Ketika itu, aku dekat dengan seorang teman namanya Riza, dia teman sebangku di kelas, dia orang yang baik, pintar, dan penolong, tetapi dia emosional. Ketika ada suatu hal yang tidak sesuai dengan keinginannya, aku sering jadi korban pelampiasan emosionalnya dan aku tetap sabar menghadapinya karena dia penolongku di saat aku kesulitan dalam belajar, dia sering mengajariku sehingga aku paham akan pelajaran-pelajaran yang berbentuk Bahasa Arab. Dia sangat membantuku dalam belajar hingga peringkatku pada kelas II semester 1 meningkat pada peringkat 20.

Pada semester II, kakakku memutuskan untuk pindah belajar di MAN tempat kami tinggal, karena dia sering kesakitan, dia mengidap penyakit asma bronkitis. Begitu juga halnya dengan Icut, waktu itu kami tidak terlalu dekat, dia juga sering mengalami sakit-sakitan sehingga dia sering pulang kampung. Alhamdulillah, aku masih dianugerahi kesehatan oleh Allah, sehingga masih dapat bertahan di Ma’had, melewati hari demi hari dengan belajar sungguh-sungguh baik di madrasah, di kamar dan di musala untuk mengulang-ulang pelajaran, aku lalui dengan ikhlas agar aku menjadi yang terbaik, dan orang tuaku bangga kepadaku. Hingga akhirnya pada semester ini aku mendapat peringkat ke-17.

Pada kelas III semester 1, peringkatku naik ke-15, dan singkat cerita pada semester akhir di kelas III aku menduduki peringkat ke-10. Suatu kebanggaan bagiku saat itu, karena untuk mencapai peringkat 10 tidaklah bagi anak baru sepert Peringkat yang kuraih tidak luput dari bantuan teman-temanku, mereka yang baik hati terus membantu dan mengajariku menuntut ilmu di Ma’had tercinta.

Tamat dari MUQ tahun 2007, aku melanjutkan kuliah di IAIN Ar- Raniry sekarang dikenal UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Sebelumnya aku sudah membicarakan tentang lanjutan pendidikanku dengan orang tuaku, mereka berkeinginan aku menjadi seorang guru, Ibu menyarankan aku kuliah di IAIN sama seperti dirinya dulu. Kemudian  aku membahas keinginan  orang  tuaku dengan  teman- teman sekamar dan sekelasku, kebetulan salah satu dari mereka namanya Ira, dia juga berkeinginan untuk kuliah di IAIN. Akhirnya kami bertukar nomor handphone untuk mengomunikasikan semua informasi perkuliahan. Kami berangkat untuk mendaftarkan diri di IAIN bersama-sama. Jurusan yang kami pilih juga sama, yaitu Bahasa Arab, pilihan itu merupakan pilihan yang tepat bagikukarena lanjutan dari belajar diMAK dulu.

Cita-citaku ingin menjadi seorang tenaga kesehatan sudah kukuburkan dalam-dalam, karena ilmu di bagian kesehatan juga tidak pernah ku ketahui dan orang tuaku juga tidak sanggup membiayaiku untuk kuliah di bagian itu. Aku menganggap inilah takdir hidupku untuk menjadi seorang guru Bahasa Arab. Bermulai dari kecerobohanku (ijazah berleges tertinggal) membawaku mengenal akan bahasa Arab hingga aku cinta akan bahasa itu, aku terus berusaha untuk menguasainya.

Aku dan Ira lulus di IAIN jurusan Bahasa Arab, mata kuliah yang kami ampu tidak terasa sulit, karena kami sudah terbiasa ketika di MAK dulu. Kami melewati hari-hari selalu bersama-sama sampai menyelesaikan kuliah karena kami tinggal di tempat yang sama. Ira adalah sahabatku yang paling baik bagiku. Selama 9 semester, kami bersama-sama tidak ada perdebatan di antara kami, dia memiliki sifat yang penuh kedewasaan, jika terjadi masalah kami selalu menyelesaikannya sama-sama. Riza juga melanjutkan kuliah di IAIN tetapi dia memilih jurusan Bahasa Inggris, kami juga sering bersama- sama walaupun hanya satu tahun kami bertempat tinggal di tempat yang sama. Ira dan Riza adalah sahabatku, mereka teman sejatiku yang  membantuku menyelesaikan S-1 (strata 1) hingga bertitel S.Pd.I.

Aku menyelesaikan S-1 pada tahun 2012, kemudian aku memutuskan untuk melamar pekerjaan sebagai guru Bahasa Arab di MTsN 1 Aceh Timur saat itu dikenal MTsN Simpang Ulim. Dan Alhamdulillah aku diterima sebagai guru di MTsN sampai sekarang, tepatnya 10 tahun aku sudah mengajar di sana. Tentunya banyak pengalaman dan kesan saat mengajarkan pelajaran Bahasa Arab pada anak-anak didikku, ada yang menyukainya dan ada pula yang tidak karena bahasa Arab adalah bahasa asing.

Pernah aku bertanya kepada mereka, bahasa asing yang kita pelajari ada 2 yaitu bahasa Arab dan bahasa Inggris. “Bila dibandingkan dua bahasa tersebut, yang mana paling mudah?” Banyak dari mereka yang menjawab, “Bahasa Arab lebih mudah karena kalau kita bisa membaca Al- Qur’an, insyaAllah kita bisa membaca bahasa Arab, bahasa Arab tentunya tidak terlalu asing bagi kita, sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Lain halnya dengan bahasa Inggris, bagi kami agak kaku dalam pengucapannya karena tidak terbiasa dalam kehidupan sehari-hari.

Dari itu dapat disimpulkan bahwa siswa- siswa di MTsN ini kebanyakan menyukai bahasa Arab karena bagi mereka bahasa Arab tidak jauh beda dengan bahasa Al-Qur’an. Walaupun yang sebenarnya bahasa Arab adalah Bahasa yang sangat luas dan kaya, hanya orang-orang yang tinggi pemikirannya yang dapat menguasainya. Begitu juga halnya denganku masih sangat minim ilmu Bahasa Arab yang kukuasai, tetapi setidaknya untuk ilmu dasar sudah ku kuasai untuk mengajari anak-anak mengenal bahasa Arab.

Mereka tertegun ketika mendengar ceritaku. Ada salah satu siswa yang bernama Intan menanggapi hal tersebut. “Wah, Ibu hebat, ya.” Intan adalah salah seorang siswa yang pandai dalam menghargai pendapat atau celotehan dari teman-teman atau gurunya. Ia tidak ingin melewatkan momen-momen yang di mana ia dapat mengambil pelajaran dari kisah seseorang yang ia dengar.

“Sebenarnya Ibu bukanlah seorang yang hebat, tetapi seperti kata pepatah Man jadda wajada (Barang siapa yang sungguh- sungguh maka dia akan mendapatkannya), karena Ibu mau belajar dengan sungguh-sungguhlah, makanya Ibu menjadi orang yang sukses seperti sekarang ini,” jawabku. “Ada tiga hal yang dapat kita simpulkan dari cerita Ibu tadi, yang pertama; mau berusaha merubah diri, artinya dalam hidup ini tidak ada kata tidak bisa jikalau kita tidak berusaha dan kita tidak mungkin hidup seperti itu- itu saja, pastinya kita menginginkan perubahan, dan perubahan itu dari kita sendiri seperti dalam Q.S. Ar-Ra’d Ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Yang kedua; kita tidak boleh sombong, artinya dalam merubah diri kita menjadi yang lebih baik, kita harus melibatkan orang lain, kita membutuhkan teman-teman kita untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi.

Dan yang ketiga; berbakti kepada orang tua, artinya dengan menuruti kata orang tua tidak akan menggagalkan hidup kita, tetapi Allah takdirkan yang terbaik buat kita. Walaupun prosesnya itu membutuhkan waktu yang lama, kita harus tetap sabar sampai kebahagiaan itu datang. Seperti Ibu sekarang ini, Ibu sudah mendapatkan gelar Gr. (Guru Profesional) walaupun ilmu Ibu belum sesuai dengan gelar itu, tetapi setidaknya gelar itu dapat Ibu persembahkan kepada orang tua Ibu, sehingga mereka bangga bahwa mereka telah berhasil mendidik anaknya,” lanjutku.

Ternyata Intan belum puas sampai di situ saja, ia kembali bertanya, “Buk… apa Ibu senang ditakdirkan menjadi guru Bahasa Arab?”

“Alhamdulillah, Ibu sangat senang, karena bahasa arab itu adalah Bahasa Al-Qur’an, dengan mempelajari bahasa Arab sedikitnya kita tahu tentang isi kandungan Al-Qur’an, seperti dalam hadis Khairukum Man Ta’allamal Qur’an Wa’allamahu (sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya),” jawabku.

Mendengar jawabanku tersebut, Intan, Ulfa dan beberapa siswa lainnya terlihat lebih bersemangat untuk mempelajari bahasa Arab dan mengatakan, “Bu, saya mau menjadi guru Bahasa Arab…”

“Wah, bagus itu. Alhamdulillah, semoga kita menjadi orang yang terbaik ya… orang yang memperjuangkan agama Allah. Amin…” timpalku.

Dengan serentak anak-anak menjawab. “Amin…”

Jadi, apa yang menjadi pilihan kita belum tentu yang terbaik bagi kita, namun yang ditakdirkan Allah adalah yang terbaik. Kita hanya menjalani saja apa yang sudah ditakdirkan Allah atas hidup kita

Jangan mengeluh, semua akan indah jika kita menjalani dengan ikhlas.

Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul “Secuil Kisah Semesta Cinta” pada tahun 2022 lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *