Aizil, Siswa Pesisir yang Terpinggirkan
Hari ini aku kembali dipertemukan dengan sebuah kisah. Bermula pada saat bel masuk setelah istirahat berbunyi. Semua guru dikantor 2 masuk ke kelasnya masing-masing. Kebetulan aku tidak ada jam mengajar lagi. Aku memilih tetap berada di ruangan sambil memeriksa tugas siswa. Tiba-tiba Bu Eli menghampiriku, dia membawa seorang siswa laki-laki
“Bu Rani, saya mau bicara sebentar boleh?” tanyanya kepadaku.
“Iya bu, ada apa?” tanyaku penasaran, sambil menatap dalam-dalam wajah siswa yang berdiri di sebelahnya. Tapi aku benar-benar tidak mengenalinya.
“Bu Rani sibuk?”
“Tidak bu, kebetulan jam mengajar saya sudh habis hari ini,” Jawabku.
“Bu Rani, siswa ini saya bawa kemari, minta tolong untuk diajarkan membaca, boleh?”
“Tentu saja boleh bu Eli,” Jawabku.
Sambil berbisik bu Eli berkata: “Kasihan saya lihat dia di kelas, ketika belajar kelompok, tidak ada siswa yang menerima dia dalam kelompok.”
Bu Eli sebenarnya tidak mengajar di kelas itu, bu Eli guru piket pengganti merasa bingung, mengapa teman-teman lain tidak mau satu kelompok dengan siswa ini. Tanpa ditanya, si siswa langsung berkata:
“Saya tidak bisa membaca bu,” jawabnya sambil menunduk, menandakan bahwa dia malu, dia sadar dengan segala kekurangannya sehingga teman-teman sekelas tidak mau menerimanya di kelompok.
“Sengaja saya bawa kemari, mungkin bu Rani bisa membantu,” kata bu Eli.
Setelah mengantar si siswa, bu Eli kembai ke kelas. Tinggallah saya dan siswa di ruang guru. Suasana hening, terlihat ia begitu canggung duduk di depanku.
Untuk mencairkan suasana, aku bertanya:
“Siapa namamu?”
“Aizil , Bu” Jawabnya sambil menunduk.
“ Tinggalnya di mana?” Tanyaku lagi
“Di Kuala Simpang Ulim Bu.”
Degg… Seketika aku teringat kepada zikra, seorang siswa yang dulu pernah kutulis kisahnya dengan judul Buku Bersampul Merah. Tempat tinggal mereka sama.
Tetapi Aizil benar-benar berbeda dengan Zikra. Aizil sangat pendiam, bicaranya santun, kulitnya bersih, (Kalau bahasa sekarang Good Looking), penampilannya benar-benar rapi walaupun sudah selesai jam istirahat. Tidak tampak sedikitpun ia berasal dari daerah pesisir.
“Baiklah Aizil, kamu memang tidak bisa membaca?” Tanyaku memulai pembicaraan.
“Tidak bisa bu,” jawabnya.. Ia masih menunduk, menandakan ia merasa tidak nyaman dengan pertanyaanku.
Kuperhatikan buku tulis yang dibawanya, ku buka lembaran-lembarannya. Aku agak sedikit terkejut, karena catatannya lengkap dan lumayan rapi. Banyak kasus selama ini, kalau siswa tidak bisa membaca, catatannya tidak lengkap dan tidak rapi.
Tiba-tiba aku tertarik pada tulisan didepan sampul bukunya.
“ini siapa yang menulis?” Tanyaku menunjuk nama disampul buku catatannya.
“Mamak yang tulis, “ Katanya.
“Aizil bisa menulis ? Coba tulis kalimat yang saya ucapkan di sini.” Kataku sambil menyodorkan kertas kosong dan pulpen.
Ku perhatikan baik-baik cara dia menulis. Ternyata dia bisa menulis dengan benar.
Setelah itu kuambil buku paket, kubuka lembarannya dan kusuruh ia membaca.
“Coba baca tulisan ini, “ pintaku kepadanya.
Ia mulai membaca, dan ternyata aizil bisa membaca walaupun masih terbata-bata, Tetapi kemampuan membaca Aizil tidak seburuk yang ku kira.
Dia hanya terkendala di ejaan yang ada huruf “ng” dan “ny” saja. Baiklah kalau begitu aku sudah menemukan masalahnya. Kucoba menyuruhnya menulis kalimat yang ada huruf “ng” nya.
Ketika aizil menulis, kuperhatikan dalam-dalam wajah siswa itu, rasanya aku pernah melihatnya, tapi dimana.. aku mencoba mengingat-ingat kembali hari-hari yang telah berlalu.
Tiba-tiba aku teringat kejadian di hari sabtu minggu yang lalu. Sebagai perantau setiap sabtu adalah jadwalku pulang ke kampung halaman. Tapi kali ini keluargaku menjemputku ke Simpang Ulim. Suami dan kedua anakku. Sembari menunggu jam mengajarku selesi, suamiku beristirahat di Mesjid Simpang Ulim. Saat itu dia melihat siswa berpakaian pramuka duduk di area masjid, saat itu waktu menunjukkan pukul 10.00 WIB.
Suamiku lalu menghampirinya dan bertanya kepada siswa tersebut,
“Adek sekolah dimana?”
“Di MTsN,” Jawabnya singkat.
“ Mengapa kamu duduk di sini?”.. “Mengpa tidak ke sekolah?” Tanya suamiku lagi.
“Saya tidak mau sekolah!” jawab siswa tersebut.
Ketika ditanyakan lebih jauh mengapa ia tidak mau sekolah, ia hanya diam membisu. Tatapannya kosong. Terlihat seperti memikul beban yang sangat berat, tapi entah apa, hanya dia yang tahu.
Kemudian suamiku berinisiatif menghubungiku melalui video call.
“Ini ada siswa MTsN 1 Aceh Timur di masjid simpang ulim” Katanya sambil mengarahkan ponsel ke wajah siswa itu agar aku dapat melihatnya.
Kutatap lekat-lekat wajah siswa itu, namun aku tidak mengenalinya.
“Kamu kenal dengan ibu ini?” Tanya suamiku kepada siswa tersebut.
Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kamu kelas berapa?” Kutanya melaui video call
“Kelas 1 bu” Jawabnya singkat.
Maklumlah kami tidak saling mengenal satu sama lain karena saya tidak mengajar di kelas 1.
Ada sedikit perasaan yang mengganjal di hatiku. Biasanya siswa yang cabut itu siswa yang berada di kelas tinggi. Tapi ini siswa kelas 1. Ada apa sebenarnya..
Akhirnya video call harus dikhiri karena aku sedang ada jam mengajar di kelas VIII-3.
Sebenarnya rasa penasaranku begitu dalam, namun tidak ada kesempatan mengenal siswa ini lebih jauh.
Hari-hari berlalu dengan segala aktivitas, aku hampir lupa dengan kejadian di hari sabtu itu.
Sampai akhirnya hari ini, Bu Eli membawa siswa itu di hadapanku. Wajah yang awalnya tidak ku kenali, tapi aku seperti pernah melihat.
Waktu 2 jam pelajaran lumayan panjang, cukup untukku mengenal siswa ini lebih jauh. Hari itu hanya aku dan aizil yang berada di ruangan guru. Tiba-tiba aku bersemangat untuk mengulik kisah dihari sabtu itu. Akan ku cari jawaban atas rasa penasaranku mengapa siswa kelas 1 ini berbuat hal yang harusnya tidak terfikir dilakukan siswa baru.
“Aizil, benar kamu yang berada di Mesjid simpang ulim pada hari sabtu saat jam sekolah?, yang video call dengan saya?” Tanyaku memulai introgasi.
“Benar bu, “ Jawabnya pelan.
“Mengapa Aizil tidak ke sekolah dan memilih menunggu teman-teman pulang sekolah di masjid? “ Tanyaku semakin penasaran.
Dia diam seribu bahasa.., Tapi tanpa ia jawabpun aku sudah bisa menarik kesimpulan sendiri. Mengapa siswa ini enggan ke sekolah, dan lebih memilih ke masjid di hari sabtu itu. Jawabnya tidak lain ternyata ia diperlakukan dengan tidak baik oleh teman-teman sekelasnya.
Aizil di bully karena Ia tidak lancar membaca. Begitu besar dampak bully bagi seorang siswa sampai ia tidak mau datang ke sekolah.
“Aizil bukan tidak bisa membaca, kamu cuma kurang berlatih. Kalau kamu sering membaca kamu akan terbiasa dan akan lancar membaca.” Kataku meyakinkan dia.
Tiba-tiba rasa penasaranku muncul, adakah selama ini yang menyadari siswa ini diperlakukan tidak baik oleh teman-temannya di kelas? Sampai-sampai ia enggan untuk datang ke sekolah.
Atau selama ini kita hanya mengecap siswa yang cabut itu adalah siswa yang bandel. Tanpa pernah mencari tahu dan memahami apa sebenarnya yang terjadi? apa yang yang membuat dia berbuat diluar aturan yang ada?
Terlepas dari itu semua, ada hal yang aku senangi dari aizil, bahasa indonesianya sangat lancar dan bagus, tanpa terbata-bata sedikitpun. Ini sebenarnya modal untuk dia bisa menjadi lebih baik dibandingkan teman-teman yang membullynya itu.
Ketika di tanyakan masalah keluarganya, ia memjawab bahwa ia tinggal dengan ibu dan kedua adiknya yang masih kecil. Sedangkan ayahnya bekerja di luar daerah, seminggu hanya 1 hari dirumah, setelah itu ayahnya kembali berangkat bekerja.
“Aizil, kamu anak lelaki terbesar, harapan orang tuamu ada di pundakmu. Kamu harus belajar dengan sungguh-sungguh. Jangan kecewakan orangtua mu yang bekerja di luar sana, demi membiayaimu ke sekolah.”
Tiba-tiba air matanya berderai, ia menangis senggukan..
Ia hanya menunduk sambil menyeka air matanya, saat aku memotivasinya agar kembali semangat ke sekolah.
“Aizil sebenarnya anak pintar, nanti kalau sudah besar mau jadi apa?” Tanyaku berusaha menghiburnya.
“Jadi tentara bu!” Jawabnya mantap.
Aku sedikit terkejut dengan jawabannya. Luar biasa anak ini, gumamku dalam hati. Karena biasanya sebagian besar siswa laki-laki yang kutanya cita-citanya mau jadi apa, mereka menjwab “tidak tahu bu.”
“Kalau mau jadi tentara kamu harus rajin belajar, tidak ada yang tidak mungkin kalau kamu melakukannya dengan sungguh-sungguh.” Kataku meyakinkannya.
“Mulai hari ini kamu harus banyak-banyak berlatih membaca, buktikan kepada teman-teman yang membullymu itu kalau kamu bisa lebih baik dari mereka,” ya..Calon tentara.. kataku sambil tersenyum.
Aizil mengangguk sambil ikut tersenyum.
Tidak terasa bel pulangpun berbunyi, ku persilakan aizil untuk kembali ke kelas mengambil tasnya.
Kupandang ia sampai keluar ruangan, aku melihat ada potensi besar dalam siswa ini. Mungkin ia akan jadi orang hebat di masa yang akan datang. Terima kasih bu Eli sudah membawa aizil kepadaku hari ini. Dari ratusan siswa, dan puluhan guru, kenapa bisa aizil yang dibawa kepadaku. Mungkin memang sudah ditakdirkan untuk bertemu denganku.
Semoga pertemuan singkat hari ini memberikan dampak baik kepadanya, Semoga aizil terus semangat untuk sekolah dan dan mencapai cita-citanya. membuktikan kepada teman-temannya bahwa ia mampu menjadi lebih baik.
Hari ini aku kembali belajar dari siswa, bahwa sebagai seorang guru ada hal-hal yang seharusnya lebih kita pahami dari diri siswa, terlepas dari tugas kita mentransfer ilmu kepadanya. Jangan terlalu cepat mencela, tanpa pernah mencari tahu mengapa seorang siswa bertindak di luar norma.