Broken Home Bukan Akhir dari Segalanya

BULAN Juli tahun 2003 adalah awal saya mulai menginjakkan kaki di MTsN 1 Aceh Timur. Hari pertama mengajar saya diminta mengajar pelajaran Kimia dan Biologi, tentu ini jadi tantangan baru bagi saya karena latar belakang pendidikan saya adalah Matematika. Akan tetapi sebagai  seorang  guru,  saya  berusaha profesional dalam melaksanakan tugas yang sudah dipercayakan pada saya oleh Bapak waka Kurikulum pada saaat itu. Setiap hari saya bawa pulang buku pegangan Kimia dan Biologi untuk saya pelajari di rumah, walaupun tidak maksimal, tetapi saya sudah berusaha semampu saya untuk mempelajari dua buku tersebut agar pada saat masuk kelas tidak merasa canggung, apalagi mata pelajaran Biologi kelas sembilan pada saat itu guru yang bersangkutan sedang cuti melahirkan.

Kebetulan materi pada saat itu sistem reproduksi manusia, bingung, malu, sampai saya berkeringat dan masih banyak rasa  lainnya  yang  berkecamuk  pada saat  menjelaskan  tentang sistem reproduksi pada manusia dan Alhamdulillah, kebetulan pada saat itu kelas yang saya gantikan adalah kelas inti, jadi anak-anak mudah untuk memahami apa yang saya sampaikan saat itu.

Untuk mengajar pelajaran Kimia, menurut saya lebih mudah karena pada saat itu Kimia berdiri sendiri tidak digabungkan dengan pelajaran IPA, apalagi untuk tingkat MTs hanya mempelajari dasar-dasarnya saja. Misalnya zat apa saja yang terkandung pada rokok, MSG pada makanan ringan, dan sebagainya.

Pada   saat   mengajar   Matematika   saya   sangat   menikmati, karena memang latar belakang keahlian saya Matematika. Tahun 2005, saya mulai menjadi guru tetap di MTsN 1 Aceh Timur setelah dinota dinaskan dari MTsN Seruway Aceh Tamiang, alhamdulillah semua diurus oleh Bapak Saifullah M.N selaku kepala madrasah pada saat itu. Meskipun sudah lama mengajar di MTsN 1 Aceh Timur, namun saya tidak begitu dekat dengan siswa, karena jarang saya menjadi wali kelas semenjak saya diminta menjadi bendahara selama delapan tahun.

Saat itu, guru masih bisa merangkap sebagai tenaga administrasi karena minimnya penerimaan calon PNS dari administrasi, bahkan jam mengajar disiasati sebagiannya dengan meminta guru lain menggantikan saya di kelas, karena banyaknya tugas administrasi bendahara yang harus saya selesaikan. Saya hanya mengajar di tiga ruang dari depan ruang, dulu belum ada kompetisi siswa seperti sekarang, setelah beberapa tahun saya mengajar, mulailah ada KSM (Kompetisi Siswa Madrasah), maka mulailah saya mencari anak-anak yang berbakat dalam Matematika.

Dari beberapa calon ada salah satu siswa yang direkomendasi oleh guru Matematika kelas tujuh, karena saat itu saya mengajar di kelas Sembilan. Menurut Bu Nini, anak ini lebih lancar dan teliti di antara yang lainnya, saya pun penasaran dengan cerita Bu Nini, sehingga saya datangi ke kelasnya dan saya tanyakan pada anak- anak. “Siapa yang bernama Rifalji Yoga Adithama?”

“Saya, Bu!” jawabnya.

“Oh,  kamu, Nak.”  Begitu  melihatnya  saya  yakin  pada saat pertama kali, dia mampu mengharumkan nama MTsN 1 Aceh Timur.

Bergegas saya membuat soal untuk menyeleksi peserta KSM pada saat itu. Setelah anak-anak menjawab semua soal, bergegas pula kami mengoreksi jawaban dari calon peserta KSM saat itu, dan dari sepuluh calon hanya satu orang yang mampu menjawab dengan sempurna sesuai espektasi saya. Ada rasa terharu, bahagia perasaan saya bercampur aduk pada saat itu, keesokan harinya saya tempelkan hasilnya dinding kantor utama, kemudian Rifalji dengan gayanya dia bertanya,“Kapan kita latihan, Bu?”

Saya pun menjawab, “Mulai besok, Nak,” jawabku.

“Baik, Bu!” jawabnya. Setelah mendengar jawabanku, kemudian dia langsung berlari menuju kelasnya, kembali dengan perasaan gembira. Saya pun segera masuk ke kantor untuk bertemu dengan Ibu Erma selaku waka kesiswaan pada saat itu. Saya memanggil waka kesiswaan.

“Bu Erma! Saya sudah dapat calon peserta  KSM Matematika

kelas tujuh Bu! Gimana menurut ibu?”

Kemudian beliau menjawab, “Kenapa kelas tujuh yang dipilih? Harusnya kelas delapan,” jawab beliau.

Kemudian saya pun menjawab kembali, “Saya yakin, Bu, anak ini mampu bersaing dengan siswa lainnya.”

Rifalji terlahir dari keluarga broken home, sampai umur empat tahun dia bersama orang tuanya tinggal di Medan. Setelah orang tuanya berpisah, dia ikut bersama ibunya untuk tinggal di Simpang Ulim Aceh Timur. Sejak umur empat tahun sampai sekarang, dia tidak pernah bertemu dengan ayahnya, bahkan ayahnya tidak pernah mencarinya sama sekali, kemudian ibunya menikah lagi. Ayah sambungnya sangat menyayangi  Rifalji  seperti  anaknya sendiri, ibunya  juga  selain  mengurus  rumah  tangga, beliau juga berusaha  membantu  suaminya dengan  bekerja  sebagai  perias wajah atau sering disebut MUA.

Ketika jadwal latihan, Rifalji langsung menjumpai saya tanpa harus dipanggil dahulu. Setiap dia datang selalu ada soal yang sudah dijawab dari rumah, dia pun menyodorkan buku catatannya kepada saya sembari berkata, “Bu! Ini soal yang sudah saya jawab dari rumah.” Sembari tersenyum denga gaya khasnya, saya bergegas mengambil buku catatannya untuk saya koreksi. Setelah saya koreksi ternyata jawabannya lagi-lgi sangat sempurna, saya mengapresiasikan hasil kerja Rifalji saat itu.

“Alhamdulillah, Nak, jawabanmu benar. Langkah-langkahnya juga jelas.” Dia hanya tersenyum saja dengan jawaban saya. Kemudian seperti biasa, kami melanjutkan belajar dengan berbagai soal  yang  saya  cari  dari  Google Search,  untuk  dibahas  sambil berdiskusi banyak hal mengenai langkah-langkah penyelesaian soal-soal olimpiade yang lumayan memeras otak, karena saya belum  familier  dengan  soal-soal  olimpide saat  itu.  Di  kelas  juga didukung oleh Bu Nini yang selalu memberikan soal-soal khusus untuk Rifalji, agar dia tidak bosan menunggu temannya yang lain menyelesaikan soal.

Kompetisi pertama diikuti oleh Rifalji adalah KSM (Kompetisi Siswa Madrasah) tingkat kabupaten dan alhamdulillah mendapat juara pertama dalam kompetisi tersebut, kemudian berlanjut ketingkat provinsi, meskipun tidak mendapat juara, tetapi dia sudah berusaha dengan maksimal. Dia tidak menyerah begitu saja latihan tetap belanjut, berbagai kompetisi lainnya selalu diikuti, baik itu hitung cepat, cerdas cermat, sampai lomba siswa teladan.  Ada rasa bersalah yang rasakan saat itu karena tidak sempat mendampinginya ke Banda Aceh dalam event pemilihan siswa teladan, karena ada banyak deadline tugas yang harus saya selesaikan.

Alhamdulillah, tidak lama setelah acara berakhir saya dikabari oleh Bapak Munzilin selaku kepala madrasah pada saat itu yang ikut mendampinginya selain Bu erma dan Bu Nini. Melalui telepon,  beliau  mengabari  saya.  “Rifalji mendapat  juara dua se- Aceh.” Alhamdulillah, langsung terucap dari mulut saya pada waktu itu, tidak sia-sia selama ini dia selalu rajin berlatih mnyelesaikan soal-soal. Selain itu, dia juga sangat hobi berolahraga, khususnya bola kaki, setiap ada kompetisi, dia pun tidak  keinggalan  untuk mengikutinya.

Menjelang kelulusan, Rifalji masih saya beri kesempatan untuk mengikuti kompetisi lainnya yang diadakan oleh Madrasah Ulumul Qur’an Langsa. Saat itu kami terlambat sampai kelokasi tiga puluh menit, karena mengingat jarak Simpang Ulim dan Kota Langsa lebih kurang 2,5 jam perjalanan dengan bus umum, sehingga saat kami sampai dilokasi, lomba olimpiade sudah mulai, dengan napas terengah-engah Rifalji langsung saya antar ke ruang ujian olimpiade.

“Masuk aja, Nak,” perintah saya padanya. Dengan memandangi saya, dia  pun  menjawab,  “Iya,  Bu.”  Tanpa sempat istirahat, dia langsung menyelesaikan soal, ada rasa khawatir pada saat itu, karena anaknya belum sempat sarapan, maka saya jaga dari luar ruangan, kalau ada apa-apa saya bisa langsung menemaninya.

Tepatnya di bulan Februari tahun 2018, Rifalji didaftarkan ke MAN Insan Cendekia Aceh Timur oleh operator Pak Rasyidin, alhamdulillah Rifalji satu-satunya siswa MTsN 1 Aceh timur yang lulus murni pada tahun itu, dan alhamdulillah lagi dia mendapat keringanan pembayaran biaya bulanan dari jutaan perbulannya dia hanya diminta bayar dua ratus lima puluh ribu saja, karena ada berbagai sertifikat prestasi yang dilampirkan pada saat pendaftaran.

Tak terasa tiga tahun sudah berlalu, pada hari perpisahan saya merasa sangat kehilangan, sehingga pada saat salaman terakhir saya berpesan sambil sama-sama menangis.

“Nak,  teruslah  belajar di mana pun kamu berada.” Hanya itu kalimat yang mampu saya ucapkan sambil menangis, Rifalji hanya menjawab sambil menangis pula. “Baik, Bu.”

Ketika ada event yang diadakan oleh MAN Insan Cendekia, ketika saya dan tim mendampingi siswa, alhamdulillah kami bertemu kembali, sempat pada satu event saya melihat Rifalji sedang mengisi acara. Menurut informasi, ternyata Rifalji adalah ketua panitia pada waktu itu. Ketika kami sampai di acara itu Rifali sedang berbicara di panggung, ada rasa bangga saat melihatnya di atas panggung, karena Rifalji yang dulu tidak berani berbicara di depan umum, saya paham saat melihatnya merasa gugup, saya pun berdoa semoga lancar apa yang disampaikan Rifalji.

Begitu selesai dan turun dari panggung, dia langsung menyapa saya sambil menyalami rasa dengan menusuk dan mencium tangan saya, saya dengan bangga merkata padanya, “Alhamdulillah, Nak, hari ini Ibu bangga padamu, karena kamu sudah mampu berdiri dan berbicara di depan umum.” Dia hanya tersenyum dengan muka memerah, kemudian dia langsung pamit kembali ke ruangan panitia untuk menyelesaikan tugasnya.

Tahun 2021 Rifalji mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah di Pertamina Jakarta, yang sudah berjalan satu tahun, semoga kelak kamu bisa mencapai impianmu dan membanggakan orang tuamu. Terima kasih, Rifalji, dengan membimbingmu saya mempelajari banyak hal tentang kehidupan ini, kamu adalah sosok yang kuat tetapi cuek dengan keadaan, baik sama keluarga, bersyukur dengan apa adanya keluarga, tidak mudah menyerah, semoga siswa yang lain terinspirasi dengan pengalamanmu.

Tulisan ini telah dimuat dalam buku yang berjudul “Secuil Kisah Semesta Cinta” pada tahun 2022 lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *